logo

Kampus

Bangun Kesadaran Kritis, Guru Besar UNY Tawarkan Konsep Pendidikan Bermakna

Bangun Kesadaran Kritis, Guru Besar UNY Tawarkan Konsep Pendidikan Bermakna
Guru besar bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono. Untuk menghadapi tantangan dan peluang di era digital, Sugeng menawarkan konsep pendidikan, di mana pendidikan tidak hanya membangun kesadaran kritis, tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan memecahkan masalah sehari-hari. (EDUWARA/Dok. UNY)
Setyono, Kampus09 Februari, 2024 20:57 WIB

Eduwara.com, JOGJA - Guru besar bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono menawarkan konsep pendidikan bermakna sebagai alternatif solusi menghadapi tantangan dan peluang di era digital.

Konsep ini ditawarkan sebagai upaya menghadirkan pendidikan bermakna, di mana pendidikan tidak hanya membangun kesadaran kritis, tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan memecahkan masalah sehari-hari.

“Di tengah gejolak transformasi digital, pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perubahan yang terjadi di Indonesia. Maraknya penggunaan teknologi dalam pembelajaran, muncul pula risiko terhadap pembentukan subjek aktif dalam pendidikan,” kata Sugeng Bayu Wahyono, dilansir Jumat (9/2/2024).

Dipaparkan Sugeng, pendidikan bermakna adalah kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisipatoris. Pedagogi kritis menekankan pembebasan dari struktur yang menindas, sementara pendidikan partisipatoris mendorong peserta didik untuk menjadi subjek aktif dalam pembelajaran.

Pendiri Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) Yogyakarta menerangkan pendidikan bermakna memegang peran penting dalam memperbaiki tata kehidupan masyarakat dan negara.

“Di tengah arus informasi yang dipandu algoritma dan teknologi, pendidikan bermakna membuka ruang untuk keterlibatan yang lebih aktif dari peserta didik. Ini penting karena penggunaan media baru dalam pembelajaran seringkali lebih mengarah pada konsumsi daripada pembentukan pengetahuan yang kritis,” jelasnya.

Tidak Mudah

Meskipun penting, Sugeng mengakui, implementasi pendidikan bermakna di Indonesia tidaklah mudah. Rendahnya kemampuan belajar mandiri peserta didik menjadi salah satu tantangan utama.

Banyaknya akses ke konten rekreatif daripada edukatif, lanjut Sugeng, juga menghambat proses pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah. Bahkan keterlibatan dalam proses pembelajaran secara algoritmik melalui media baru itu dapat juga mematikan daya kreasi dan imajinasi.

Sugeng menambahkan pendidikan bermakna dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan tersebut. Melalui pendekatan ini, peserta didik tidak hanya diposisikan sebagai konsumen pasif, tetapi sebagai agen yang aktif dalam pembelajaran.

“Hal membantu membangun kemampuan bernegosiasi terhadap berbagai bentuk globalisasi yang dapat mengancam kedaulatan dan identitas bangsa,” terang Sugeng.

Sementara itu, di 2024 World Digital Education and Digital Educational Governance yang diadakan di Shanghai, China, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UNY Siswantoyo menjabarkan tentang strategi transformasi digital penciri khusus kampusnya.

“Ada lima tahapan inisiasi, inkubasi, akselerasi, pengembangan, pemeliharaan dan loncatan,” jelasnya.

Inisiasi telah dicanangkan oleh pemerintah melalui skema palapa ring dengan empat pilar, di antaranya digital infrastructure, digitalgovernment, digital society, digital economy. Inkubasi berisi tentang penguatan visi pendidikan berbasis digital untuk bidang akademik dan kemahasiswaan, keuangan, sumber daya dan kerja sama. Akselerasi membahas tentang penguatan digital learning system yang terintegrasi untuk empat bidang.

Read Next