Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (Fisipol UWM) Yogyakarta, Mukhijab mengatakan dalam demokrasi, regenerasi pemimpin nasional yang fair dan adil dan sangat substansial. Proses pergantian kepimpinan selayaknya dilaksanakan dengan mengutamakan etika dan fatsun politik.
"Regenerasi kepemimpinan nasional sebagai keniscayaan setiap lima tahun melalui prosedur pemilihan umum langsung, umum, bebas dan rahasia," papar Mukhijab pada Senin (30/10/2023).
Para stakeholder politik nasional dan pemegang hak pilih dalam Pemilu 2024 selayaknya mengutamakan regenerasi politik yang mengutamakan fair play politik dan menjunjung tinggi regenerasi berbasis pada sistem merit dalam proses pemimpin nasional dan koridor demokrasi.
Pemimpin nasional harus muncul dari dalam masyarakat yang memiliki kualifikasi, kompetensi secara nasional dan internasional, dan integritas, bukan pemimpin karbitan yang dipaksakan dan menggunakan privilege atau hak istimewa tertentu.
"Masyarakat perlu menyadari proses regenerasi kepemimpinan nasional menyangkut pertaruhan masa depan negara dan bangsa, bukan mempertaruhkan satu keluarga atau dinasti tertentu saja," tuturnya.
Mempertaruhkan bangsa dan negara di tangan satu garis keluarga dan kroni dalam rezim yang berkuasa ibarat perjudian (gambling), yang potensial kerugiannya bagi masyarakat lebih besar. Selain menutup peluang regenerasi berbasis pada kepemimpinan masyarakat, politik kroni dan dinasti yang dikarbit sedemikian rupa malah memproduksi demokrasi yang sakit.
Persoalan kesinambungan kepemimpinan dan keberlanjutan program pemerintah incumbent dalam regenerasi pemimpin nasional yang menjadi kartu truf rezim yang berkuasa, merupakan mitos saja.
Meskipun pernah melakukan reformasi kepemimpinan nasional secara paksa pada 1998, orientasi pemimpin dan keberlanjutan program pembangunan tetap terjadi konsistensi, perbedaan program dan kepemimpinan hanya pada program prioritas tertentu.
Kekhawatiran berganti pemimpin bukan dari lingkungan rezim incumbent akan menggagalkan kelanjutan pembangunan ibukota baru (IKN) merupakan alasan tidak kuat.
Dalam demokrasi, regenerasi pemimpin nasional yang fair dan adil dan sangat substansial. Sejauh ini revolusi dalam program dan orientasi kepemimpinan nasional tidak pernah terjadi karena kultur kompromi politik dan fatsun politik lebih dominan dalam politik nasional.
"Maknanya, keberlanjutan pembangunan tetap berlangsung walaupun pemimpinnya suksesi," tutupnya.