logo

Gagasan

90 Pendidik dan Tenaga Kependidikan dari Berbagai Wilayah Indonesia Ikuti Eduwara Writing Day

26 Maret, 2022 21:39 WIB
90 Pendidik dan Tenaga Kependidikan dari Berbagai Wilayah Indonesia Ikuti Eduwara Writing Day
Sebanyak 90 lebih pendidik dan tenaga kependidikan dari berbagai wilayah di Indonesia mengikuti Eduwara Writing Day, Sabtu (26/3/2022). Kegiatan yang dilaksanakan secara daring via zoom meeting ini menghadirkan narasumber, Kepala Riset Eduwara.com Algooth Putranto dan Redaktur Eduwara.com, Bunga Citra AN. (EDUWARA/Engki Harnani)

Eduwara.com, SOLO – Sebanyak 90 lebih pendidik dan tenaga kependidikan dari berbagai wilayah di Indonesia mengikuti Eduwara Writing Day, Sabtu (26/3/2022). Kegiatan yang dilaksanakan secara daring via zoom meeting ini dikemas dalam bentuk pelatihan. Materi yang dikupas adalah penulisan artikel ilmiah populer di media massa level pemula.

Kepala Riset Eduwara.com, Algooth Putranto, mengawali paparan dengan menceritakan masa lalunya ketika mulai menulis opini di sebuah koran nasional. Sebelum menulis, ia mengaku telah banyak membaca terlebih dahulu, terutama artikel opini yang dimuat di koran yang akan ia tuju.

Menurut dia, tidak ada hal yang tidak mungkin untuk bisa menulis artikel opini. Langkah awal untuk mahir menulis artikel opini tidak ada cara lain selain menulis itu sendiri. Kemudian didukung dengan banyak membaca.

“Kuncinya, ya menulis. Kemudian membaca. Karena membaca merupakan modal untuk kita menulis. Dengan membaca kita bisa mendapatkan data-data yang bisa kita tulis,” paparnya.

Algooth juga mengupas secara umum tentang artikel opini atau esai. Menurutnya, artikel esai merupakan tulisan yang reflektif. Di dalamnya mengandung makna human interest melalui percakapan personal yang lebih intim. Sedangkan esai ditulis dengan gaya sastrawi atau literer sekaligus kreatif dan orisinil.

Esai memiliki sifat yang timeless atau tidak terikat dengan waktu. Dengan kata lain, tulisan artikel opini  bisa berumur panjang sekaligus bisa menjadi tulisan yang menghibur bagi pembaca. 

“Namun esai juga harus provokatif dan antisipatif. Tulisan yang ditulis diupayakan bisa memengaruhi pembaca,” ujar dia. 

Dalam paparannya, Algooth menuturkan ada empat cara menulis yang ia pinjam dari Ki Hajar Dewantara, yaitu 4N: niteni (amati), nirokke (tiru), nambahi (modifikasi), dan nemokke (buat baru). 

Percaya Diri

Sasongko, pendidik SDN Rejosari, menanggapi materi yang disampaikan Algooth dengan bertanya tentang cara membangun kepercayaan diri ketika menulis. Ia juga menanyakan cara agar tulisan yang dibuat bisa dikonsumsi dan dipahami secara luas oleh pembaca. 

“Saya pernah mencoba menulis, tapi saya kurang percaya diri (PD, red). Apalagi kalau menulis tentang penelitian tindakan kelas (PTK), tulisan saya sering tidak fokus, malah melebar kemana-mana,” kata Sasongko.

Menanggapi problema yang dihadapi Sasongko, Algooth tidak memungkiri bahwa perasaan kurang PD memang sering terjadi pada penulis pemula. Tapi hal tersebut bisa diatasi dengan cara terus berlatih menulis dan memahami apa yang akan ditulis. Kedua cara itu juga bisa menjawab pertanyaan soal tidak fokus. 

“Kemudian bagaimana agar tulisan bisa dikonsumsi oleh banyak orang? Gampang. Buatlah tulisan dengan bahasa atau pilihan kata yang dekat dengan kita. Sebisa mungkin pilihan bahasa yang dipakai dalam esai sering terdengar dan mudah dimengerti oleh banyak orang,” terang Algooth.

Peserta dari Banten, Muas juga mengaku kesulitan menulis ketika dirinya tidak memiliki banyak data. Ia baru bisa menulis ketika ia sudah memiliki data-data yang lengkap. Hal itu membuat ia sering kehilangan momen ketika tulisan sudah jadi. Akibatnya, tulisan yang ia buat kerap tidak terbit di media massa.

“Apakah saya harus mencoba metode atau gaya menulis saya agar tidak bergantung dengan data-data?” tanya Muas kepada Algooth.

Alih-alih meminta Muas mengubah metode menulisnya, Algoth justru meminta Muas agar tetap mempertahankan metode menulis tersebut. Sebab, artikel opini dengan data yang banyak akan memperkuat isi opini penulis.

“Tidak perlu diganti. Hanya saja, sering-seringlah menabung naskah. Sebab kelak data-data yang dikumpulkan akan berguna untuk artikel selanjutnya. Atau, bisa mendukung artikel opini lain yang dibuat. Hal itu sekaligus melatih agar tulisan bisa luwes,” beber Algooth.

Tahapan Menulis Opini

Topik lain, yaitu tahapan menulis artikel opini, dikupas oleh Redaktur Eduwara.com, Bunga Citra AN. Menurutnya, tahapan dalam menulis artikel opini adalah pertama, menjaring ide dan menentukan topik.

Ide yang menarik adalah ide yang sering banyak dibicarakan orang, tidak harus ide yang levelnya tinggi. Untuk menemukan ide semacam itu, bisa didapatkan dari percakapan di media sosial atau pembicaraan kasual sehari-hari. Bisa juga dengan banyak membaca dan mendengarkan. 

“Setelah dapat ide, baru tentukan topik yang fokus. Satu saja. Kemudian dari topik itu buat kerangka berpikir apa saja yang akan dibahas dalam tulisan,” jelas Bunga. 

Kedua, menyelaraskan data dan mempermanis tulisan. Data bisa didapat dari berbagai sumber, misalnya hasil riset, survey, atau data resmi pemerintah. Data tersebut kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini. 

Agar artikel opini bisa menarik perhatian pembaca dan tidak terkesan kaku, maka diperlukan pemanis tulisan. Hal itu bisa didapatkan dengan cara menyisipkan humor, puisi, lirik lagu, atau kutipan dialog film yang relevan dengan topik yang sedang ditulis.

Senada dengan Algooth, Bunga menyampaikan sebuah tulisan tidak akan pernah tercipta kecuali dengan menuliskannya. Maka tahapan ketiga, yaitu menulis. 

Sebuah tulisan pasti diawali dengan pembuka. Menurut Bunga, tulisan pembuka sebaiknya menggunakan anekdot, humor, atau semacamnya agar tulisan menarik perhatian pembaca. Pembuka tidak diperkenankan lebih dari satu paragraf.

“Tulislah semua ide dan data yang sudah terkumpul. Jangan lakukan penyuntingan terlebih dahulu. Gunakan kalimat yang mudah dipahami oleh awam. Anggap pembaca belum paham soal topik yang sedang kita tulis,” jelas dia.

Bunga melanjutkan, setiap satu paragraf terdiri 20-25 kata, atau maksimal tiga kalimat. Sebab paragraf yang terlalu panjang akan membuat mata pembaca cepat lelah. Apalagi jika dibaca pada ponsel selular.

“Kalau merasa lelah, istirahat dulu. Kemudian lanjut menulis lagi. Begitu terus berulang. Setelah selesai, baru lakukan penyuntingan,” ungkap Bunga.

Tahapan terakhir, baca dan koreksi. Baca ulang tulisan yang telah selesai dibuat. Pastikan dalam satu kalimat mengandung unsur Subjek dan Predikat. Pada lima paragraf pertama harus berisi inti dari tulisan. Paragraf selanjutnya berisi penjabaran.

“Untuk penutup, bisa berupa kesimpulan, pertanyaan retoris, atau asumsi yang merujuk pada pembuka artikel,” tutur dia.

Bunga menutup materi dengan memberikan contoh tulisan yang pernah dimuat di media massa agar peserta lebih paham. Ia menerangkan dan menunjukkan kekurangan dan kelebihan dalam tulisan tersebut.

Read Next