Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Kalamullah Ramli menyebut ancaman dari internet pada anak-anak Indonesia lebih besar dibandingkan dengan di Eropa. Karenanya diperlukan peran aktif dari orang tua, sekolah dan pemerintah.
"Dibandingkan tahun 2015, jumlah pengguna internet di Indonesia naik hingga tiga kali lipat. Jika sebelumnya hanya 72 juta orang, pada Januari 2022 tercatat 191 juta pengguna internet di Indonesia," katanya, Sabtu (16/4/2022).
Menariknya lagi, dari total pelajar di Indonesia, sebanyak 71, 8 persen adalah pengguna aktif dan sisanya 21,8 persen bukan pengguna aktif. Dari total pengguna aktif, sebanyak 63,8 persen hanya sekedar mencari hiburan di dunia maya.
Melalui paparannya di lewat 'Webinar Merajut Nusantara Keamanan Anak di Platform Digital' pada Jumat (15/4/2022) malam, Ramli menyebut ancaman di dunia maya pada anak Indonesia lebih besar dibandingkan sebayanya yang tinggal di Eropa.
Ia menyebut jika di Eropa, dari risiko konten anak-anak di sana terancam dengan konten pornografi dan konten kekerasan. Namun mereka yang tinggal di Indonesia terancam dengan 'pornografi kekerasan' dan 'informasi perjudian.
Kemudian dari sisi kontak, di Eropa ada ancaman kontak dengan orang yang tidak dikenal dan kontak dengan pedofili. Di Indonesia pada sisi kontak, ancamannya malah lebih banyak.
"Selain rawan berkenalan dengan pedofili, anak-anak di Indonesia bisa jadi diminta memposting konten diri berpenampilan seksi/sensual dan berkenalan dengan orang-orang yang menginginkan mereka membuka baju," lanjut Ramli.
Kemudian ancaman ketiga dari faktor tindakan, ancaman pada anak-anak di Eropa biasanya dalam bentuk pengiriman pesan yang merendahkan harga diri dan cyberbullying.
Lebih Gawat
Pada anak-anak Indonesia, ancamannya lebih gawat lagi yaitu hadirnya konten-konten yang merusak reputasi dan mempermalukan orang lain, membuat dan menyebarkan gosip atau berita bohong, serta menampilkan foto intim.
"Bagi Indonesia masih ada ancaman lain di tengah tingginya penggunaan gawai lebih dari lima jam sehari dan sembilan jam bermedia sosial yaitu kebocoran data pribadi yang berulang-ulang yang berpotensi dijual belikan," katanya.
Karena itulah, Ramli mendorong Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kominfo) memasukkan kurikulum pendidikan tentang pengenalan risiko internet. Literasi digital kepada anak sekolah dan pendidik menurutnya belum cukup karena bersifat sporadis. Dengan memasukkan pengenalan internet dan risikonya dalam kurikulum adalah cara yang sistematis.
Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan, saat ini jumlah anak Indonesia berusia di atas lima tahun yang berinteraksi dengan internet sudah mencapai 88,99 persen. Keteledoran orang tua yang pada awalnya sebatas memberi gawai supaya anak tidak rewel, malah menjadikan anak semakin kecanduan.
"Anak yang mengalami kecanduan internet mengalami perubahan otak di mana dia akan sulit membuat keputusan, konsentrasi dan fokus. Ini mengerikan, sampai 15 jam sehari kecanduan main game di internet," tuturnya.
Anak-anak sekarang, sebut Sukamta lebih suka bermain game dibandingkan meluangkan waktunya beribadah, belajar atau bergaul dengan sesamanya. Jika dibiarkan hal ini tidak hanya mengubah jiwa sosial mereka namun juga menghadirkan kekeraskepalaan dan hilangnya konsentrasi belajar.
Sukamta menyebut orang tua anak, sekolah, hingga pemerintah harus bertanggung jawab dan berperan aktif dalam mengurangi kecanduan internet ini. Orangtua berperan sentral dalam pendampingan dan edukasi mengenai internet yang sehat. Meski saat ini kendalanya banyak orang tua yang belum teredukasi dunia digital.
"Lalu, sekolah ambil bagian dalam edukasi internet untuk sarana belajar, atau pengembangan kreativitas. Sementara pemerintah wajib membuat regulasi soal perlindungan data pribadi dan pemantauan siber," imbuh Sukamta.