logo

Sains

Ini Temuan Tim Riset Soal Runtuhnya Anak Krakatau pada 2018

Ini Temuan Tim Riset Soal Runtuhnya Anak Krakatau pada 2018
Skema Sebagian tubuh Anak Krakatau 2018 yang diikuti oleh ketidak stabilan dapur magma yang memicu letusan besar. (ITB/Cutler)
Bunga NurSY, Sains30 Desember, 2021 07:59 WIB

Eduwara.com, BANDUNG—Runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau di Lampung pada 22 Desember 2018 disebabkan oleh proses destabilisasi jangka panjang dan tidak dipicu oleh perubahan mencolok dalam sistem magmatik yang dapat dideteksi oleh teknik pemantauan yang ada saat ini.

Hal tersebut tertuang dalam penelitian terbaru yang berjudul Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau dan dipublikasikan dalam Earth and Planetary Science Letters.

Anak Krakatau telah meletus selama sekitar enam bulan sebelum keruntuhan, dan memperlihatkan lebih dari dua pertiga dari ketinggiannya meluncur ke laut saat pulau itu seolah terbelah menjadi dua. 

Peristiwa tersebut memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatra dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang pada 2018.

Dikutip dari situs resmi Institut Teknologi Bandung (ITB), tim riset gabungan InggrIs dan Indonesia yang dipimpin oleh University of Birmingham memeriksa material vulkanik dari pulau-pulau terdekat guna mencari petunjuk untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.

Bekerja dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung, Universitas Oxford dan British Geological Survey, tim melihat karakteristik fisik, kimia dan mikrotekstur dari material hasil letusan.

Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung. Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.

Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi, namun peristiwa Anak Krakatau 2018 tidak dipicu dari dalam melainkan dari luar yaitu hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba. Dengan demikian, tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.

Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham selaku penulis senior makalah tersebut mengatakan jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan seringkali menghancurkan. 

“Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma – seperti penyumbat gabus botol sampanye yang meletus,” jelasnya.

Hasilnya menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya masa depan di pulau-pulau gunung api. 

Mirzam Abdurrachman, dari Institut Teknologi Bandung, menjelaskan, jika tanah longsor berskala besar terjadi di daerah vulkanik sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang, dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi, berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.

“Apa yang coba disampaikan [fenomena] Anak Krakatau 2018, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus.Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikelilingi oleh gunung berapi aktif dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang,” tambah Mirzam.

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan, mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.

“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.

Read Next