logo

Sekolah Kita

Unicef Tegaskan Sekolah Tetap Perlu Dibuka pada 2022 Meskipun Dibayangi Omicron

Unicef Tegaskan Sekolah Tetap Perlu Dibuka pada 2022 Meskipun Dibayangi Omicron
Para guru di SD Muhammadiyah Sapen memadukan dua model pembelajaran, yaitu tatap muka dan tatap mata dalam kesempatan belajar yang sama, sehingga semua siswa tetap dapat terhubung dengan guru saat Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas. (Eduwara/Ida Gautama)
Bunga NurSY, Sekolah Kita28 Desember, 2021 08:01 WIB

Eduwara.com, BALIKPAPAN—Pembelajaran tatap muka di berbagai belahan dunia harus segera dimulai meskipun bahaya merebaknya varian baru Covid-19 tetap membayangi.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore dalam pernyataan resmi lembaga di bawah naungan PBB itu baru-baru ini.

“Tahun 2022 tidak bisa lagi menjadi tahun disrupted learning [dimana proses pembelajaran banyak terganggu]. Tahun depan harus menjadi tahun dimana pendidikan, dan kepentingan anak-anak, diutamakan. Penutupan sekolah harus benar-benar menjadi opsi terakhir,” jelasnya. 

Sebagaimana diketahui, melonjaknya kasus Covid-19 di berbagai belahan dunia, yang didorong oleh baru varian baru Omicron, memicu kekhawatiran dari para pakar dan ilmuwan kesehatan. Di tengah meningkatnya ketidakpastian, banyak pemerintah mempertimbangkan apakah sekolah akan tetap dibuka. 

Satu hal yang tahu pasti, tegas Fore, gelombang baru dari penutupan sekolah yang meluas akan menjadi bencana bagi anak-anak.

“Buktinya jelas: penutupan sekolah nasional yang berkepanjangan; sumber daya yang terbatas untuk siswa, guru dan orang tua; dan kurangnya akses ke pembelajaran jarak jauh telah menghapus kemajuan pendidikan selama beberapa dekade dan membuat masa kanak-kanak tidak dapat kita kenali lagi. Pandemi pekerja anak, pernikahan anak dan masalah kesehatan mental telah membayangi.”

Selain kehilangan pembelajaran, tambahnya, anak-anak juga kehilangan keamanan sekolah, interaksi langsung setiap hari dengan teman, akses ke perawatan kesehatan, dan acapkali satu-satunya makanan bergizi mereka hari itu. Generasi anak sekolah ini secara kolektif bisa kehilangan US$ 17 triliun potensi pendapatan seumur hidup.

“Itulah mengapa penutupan sekolah secara nasional harus dihindari bila memungkinkan. Ketika transmisi komunitas COVID-19 meningkat dan tindakan kesehatan masyarakat yang ketat menjadi keharusan, sekolah harus menjadi tempat terakhir yang ditutup dan yang pertama dibuka kembali,” jelasnya.

Fore meyakini bahwa langkah-langkah mitigasi di sekolah efektif dan semua pihak harus menggunakan pengetahuan ini untuk melakukan segala cara untuk menjaga sekolah tetap buka.

“Kita juga harus meningkatkan investasi dalam konektivitas digital untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal,” tegasnya.

Langkah RI

Pernyataan Henrietta Fore ini selaras dengan langkah Pemerintah Indonesia yang baru  menerbitkan panduan pembelajaran tatap muka mulai semester genap 2021/2022.

Sebagaimana diketahui, menimbang kondisi terkini dan urgensi pelaksanaan PTM terbatas, Menteri Kesehatan (Menkes)Budi Gunadi Sadikin, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menetapkan penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyambut positif dukungan berbagai elemen masyarakat atas keluarnya SKB Empat Menteri ini, mengingat sudah hampir dua tahun anak-anak melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). 

“Berbagai riset menunjukkan bahwa pandemi menimbulkan kehilangan pembelajaran (learning loss) yang signifikan. Anak-anak berhak bersekolah sebagaimana mestinya. Pemulihan pembelajaran sudah sangat mendesak untuk dilakukan selagi masih bisa kita kejar,” terang Nadiem seperti dikutip dari siaran pers Kemendikbudristek pada Kamis (23/12/2021).

Riset yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terhadap 3.391 siswa SD dari tujuh kabupaten/ kota di empat provinsi, pada bulan Januari 2020 dan April 2021 menunjukkan bahwa pandemi menimbulkan kehilangan pembelajaran (learning loss) yang signifikan.

SKB empat Menteri ini, menurut Nadiem, ditetapkan melalui berbagai pertimbangan yang matang demi kemaslahatan bersama, khususnya masa depan anak-anak Indonesia. “Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan merupakan tanggung jawab bersama. Pemulihan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Read Next