Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA - Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms M Abduhzen menilai pendidikan kolonial yang diwariskan pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia mewariskan karakter malas berpikir dan tak memiliki kepribadian kuat terhadap anak bangsa.
Dikatakan Abduhzen, jika dirunut dari masa lalu, pengaruh sistem pendidikan era kolonial sedikit banyak berpengaruh hingga saat ini.
“Pribumi tidak dipacu menjadi cerdas karena proses berpikir, tetapi hanya untuk lebih patuh dan setia pada nilai-nilai inlandernya. Nilai inlander itu yang terus berkembang hingga hari ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang tidak punya kepribadian kuat dan malas berpikir,” ujar Abduhzen dalam keterangan pers yang dikirimkan Humas Universitas Paramadina kepada Redaksi Eduwara.com, Rabu (15/12/2021).
Lebih lanjut dikatakan Abduh, hal ini terbukti dalam rangking Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), rangking PISA anak-anak didik di Indonesia tidak mampu beranjak dari posisi 6 terbawah dunia.
“Karena memang tidak dibiasakan berpikir (ilmiah), mereka punya kemampuan science yang lemah. Ketika diberikan soal-soal science maka kemampuan berpikir atau bernalar jeblok karena tidak terlatih berpikir,” tutur Abduhzen.
Peneliti Universitas Paramadina ini juga mengkritisi proses pendidikan karakter di sekolah.
“Sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah include di dalamnya pembentukan karakter. Tidak dipisah antara pendidikan seni budaya dan pendidikan karakter,” ujar Abduhzen.
Selama ini, lanjut dia, yang dipahami banyak orang hanya menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika, dan ilmu-ilmu scientific seperi biologi, fisika, kimia.
“Basis pembentukan karakter adalah ketika orang mampu berpikir logis dan rasional karena terbiasa berpikir oleh ilmu-ilmu scientist. Karena itulah dulu ada peribahasa bijak ‘Pikir itu pelita hati, air beriak tanda tak dalam’,” kata Abduhzen.
Dia juga menyampaikan evaluasinya atas problem pendidikan nasional di Indonesia. Hal pertama dikatakan Abduh adalah bahwa problem pendidikan nasional telah melampaui kapasitas departemental atau diserahkan hanya pada level kementerian.
“Harusnya ditangani terpadu sampai pada tingkat negara dan dipimpin langsung oleh kepala negara,” kata Abduh.
Hal kedua yang menjadi evaluasi Abduhzen adalah membiasakan siswa mau berpikir dengan proses menggunakan nalar. Kemampuan bernalar ini, kata dia, sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang berkarakter unggul.
“Ketiga, proses belajar mengajar harus menggunakan proses dialogis dengan penggunaan bahasa yang benar, sebagai media pencerdasan. Karena itu membenahi bahasa berarti sedang membenahi cara berpikir,” pungkas Abduhzen.