Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA – Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan diterapkan pada siswa jenjang sekolah dasar dan menengah dianggap sebagai metode seleksi yang objektif dan sesuai untuk dijalankan oleh pemerintah. Pengamat Pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema, mengatakan, sejak Ujian Nasional (UN) dihapuskan, Indonesia tidak memiliki alat ukur objektif untuk menilai hasil belajar individu siswa pada aspek mata pelajaran tertentu.
Menurut Doni, sesuai amanat Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional penentuan kelulusan siswa tetap merupakan keputusan sekolah. Sebab, sekolah merupakan pihak yang mengenal lebih dalam keseharian dan keseluruhan proses pendidikan siswa sesuai profilnya. Adapun TKA menjadi salah satu alat ukur untuk menilai kualitas hasil belajar individu siswa oleh lembaga di luar sekolah.
“Dengan cara ini manipulasi nilai sekolah akan berkurang dan di saat yang sama sekolah mendapatkan feedback untuk meningkatkan kualitasnya,” ungkap Doni kepada media.
Doni menjelaskan, TKA merupakan metode paling efektif untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa perguruan tinggi secara objektif, mengurangi bias, serta sesuai standar global. Dia mencontohkan, selama ini Matematika adalah salah satu pelajaran yang paling sedikit mengalami bias sosial ekonomi siswa.
Sebaliknya, Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran dengan tingkat bias sosial ekonomi yang tinggi. Siswa yang berasal dari kalangan kelas menengah umumnya memiliki penguasaan Bahasa Inggris yang lebih memadai.
“Dengan begitu perlu dilakukan penataan ulang pada porsi persentase masing-masing mata pelajaran yang akan diujikan agar seleksi menjadi lebih adil dan representatif,” tegas Doni.
Ia juga menyarankan agar dilakukan pembenahan dalam berbagai aspek pelaksanaan TKA, khususnya terkait integritas selama proses ujian.
“Aspek yang memerlukan penyempurnaan dalam TKA yaitu pelaksanaan ujian sesuai standar evaluasi, tidak boleh ada manipulasi dan kecurangan saat dilaksanakan ujian di sekolah,” ujar Doni.
Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian sebelumnya mengatakan TKA bukan sekadar pengganti UN ataupun penentu kelulusan, melainkan instrumen evaluasi kemampuan individu siswa. Hasil TKA, kata dia, dapat dimanfaatkan sebagai indikator tambahan dalam proses seleksi pendidikan.
Pada jenjang Sekolah Menengah Atas, hasil TKA dapat menjadi pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa baru melalui jalur prestasi di perguruan tinggi. Sementara itu, pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, hasil tes ini dapat digunakan dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru untuk memastikan proses seleksi dilakukan secara lebih objektif dan berbasis kemampuan akademik siswa.
Soal-soal dalam TKA di tingkat SMA, misalnya, dirancang dengan mengacu pada konsep High Order Thinking Skills (HOTS), yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang menuntut siswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi dari suatu permasalahan.
Pola soal ini serupa dengan jenis soal yang digunakan dalam Ujian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sehingga diharapkan dapat mendorong siswa untuk mengembangkan daya nalar dan pemahaman mendalam terhadap materi.
Menurut dia, pemerintah merencanakan pelaksanaan TKA untuk jenjang Sekolah Menengah Atas pada November 2025, dengan cakupan mata pelajaran tertentu yang akan ditentukan lebih lanjut.
“Sebaik apapun alat bantu yang digunakan, tidak akan optimal tanpa kesungguhan semua pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi diri dan perencanaan perbaikan ke depan,” tutup Hetifah.
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Redaksi pada 02 Jun 2025