EduBocil
18 Maret, 2022 20:37 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JAKARTA – Indonesia memiliki kondisi geografis yang beragam. Kondisi itu memungkinkan adanya bencana yang terjadi. Oleh karena itu diperlukan mitigasi bencana yang harus direncanakan sejak dini. Salah satu fokus mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan satuan pendidikan.
Akan jauh lebih penting bilamana sudah memiliki kesiapan sejak dini terhadap bencana jika sewaktu-waktu terjadi di satuan pendidikan. Bencana bisa datang sewaktu-waktu dan manusia hanya bisa melakukan mitigasi, persiapan, dan merencanakan tahapan-tahapan untuk keselamatan bersama.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sri Wahyuningsih dalam Webinar Series Edukasi Mitigasi Bencana #1: Penerapan Kesiapsiagaan Bencana di Satuan Pendidikan, Jumat (18/3/2022) yang diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar melalui siaran langsung Youtube Ditpsdtv.
Dia melanjutkan, mitigasi bencana merupakan salah satu literasi lingkungan yang harus disampaikan kepada siswa guna memahami potensi dan mitigasi bencana.
“Agar sejak dini mereka mampu memahami potensi-potensi bencana di Indonesia dan bagaimana melakukan mitigasi. Bahkan, mitigasi bencana juga sejalan dengan pendidikan karakter yang sedang kami siapkan sebagai bagian kebijakan Merdeka Belajar,” kata dia.
Mitigasi bencana, sambung Sri Wahyuningsih, menjadi bekal siswa ketika berada di lingkungan yang sedang terjadi bencana untuk bersikap tenang, memiliki rasa tolong menolong, mampu mengambil keputusan positif yang cepat. Sehingga bisa mejaga keselamatan diri maupun lingkungannya.
Kerusakan
Tenaga Ahli Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), Jamjam Muzakki mengatakan bencana bukan hanya disebabkan faktor alam, namun ada juga faktor non alam dan manusia. Dampak bencana bagi satuan pendidikan secara umum adalah kerusakan.
“Secara umum dampaknya di satuan pendidikan yakni kerusakan yang berakibat pembelajaran dan pelayanan yang terganggu. Kemudian akses transportasi terputus, perlengkapan belajar yang hilang atau rusak. Selain itu orang tua yang khawatir adanya gempa susulan bahkan menelan korban jiwa,” jelas dia.
SPAB dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah memetakan satuan pendidikan yang berada di wilayah risiko bencana sedang dan tinggi. Hasilnya antara lain yakni 92.353 sekolah berisiko terkena gempa, 75.679 sekolah berisiko banjir, 22.218 berisiko longsor, dan 1.685 berisiko terkena letusan gunung berapi.
“Dari sisi risiko, ini adalah ancaman yang nyata karena secara saintifik bisa dibuktikan dan dampaknya bisa merusak. Data kejadian pun sudah cukup banyak sekolah yang rusak. Paling banyak karena gempa, karena dampaknya juga cukup luas sehingga bisa merusak banyak sekolah,” ujar dia.
Untuk menanggulangi dan mengurangi risiko bencana, pemerintah mengeluarkan kebijakan Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Program Sekolah Pendidikan Aman Bencana. Program itu memastikan layanan pendidikan tetap berjalan ketika bencana terjadi dalam keadaan darurat dan mendorong pembelajaran yang mengintegrasikan materi risiko bencana sesuai karakteristik lokasi sekolah.
“Misalnya sekolah-sekolah di pesisir pantai wajib mempelajari abrasi, tsunami, gempa bumi, gunung meltus, dan sebagainya. Kemudian menyusun proyek keselamatan dari bencana dan pemulihan sekolah terdampak bencana,” kata dia.
Menurut Jamjam, secara umum program itu perlu disampaikan bagi semua jenjang satuan pendidikan, karena bencana datangnya tiba-tiba. (K. Setia Widodo)
Bagikan