Sekolah Kita
20 Mei, 2025 05:55 WIB
Penulis:Ida Gautama
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Pembelajaran program kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan coding yang digagas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan diterapkan di sekolah dasar (SD) tidak perlu dilakukan terburu-buru. Gagasan tersebut terkesan latah dalam menanggapi tren teknologi AI.
Pandangan ini disampaikan peneliti transformasi digital dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Iradat Wirid. Menurutnya pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk memberikan pendidikan AI dan Coding bagi siswa SD.
“Penyampaian materi tersebut bisa memberikan dampak negatif bagi anak jika tidak diperkuat dengan literasi digital yang cukup,” terang Iradat pada Senin (19/5/2025).
Penyampaian materi dalam program pembelajaran AI dan coding, menurut Iradat, harus dilakukan berjenjang. Pengajaran aplikasi AI ke anak SD, disebutnya, akan menjadi bencana jika tanpa dibekali logika, etika, dan literasi digital terlebih dahulu.
Iradat menilai ada tiga fondasi penting yang harus melekat dalam kurikulum AI untuk pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Pertama adalah etika. Menurutnya, pengenalan AI kepada pelajar tidak boleh semata-mata menonjolkan kecanggihan aplikasi, tapi harus disertai pemahaman soal hak, dampak, dan batasan penggunaannya.
"Jangan sampai hanya sebatas mengajarkan penggunaan aplikasinya saja. Apalagi mengajarkan cara pakai ChatGPT ke anak SD karena kita akan melahirkan generasi yang instan," paparnya.
Kedua, literasi. Ia menilai literasi digital pelajar perlu ditata ulang secara mendasar dengan mencakup kemampuan memilah informasi yang layak, memahami aturan, dan mengetahui mana yang etis serta legal dalam konteks penggunaan teknologi.
"Teknologi harus dikendalikan manusia, bukan kita yang terombang-ambing. Pendekatan berbasis kemanusiaan salah satunya melalui literasi digital yang terus ditingkatkan harus menjadi dasar,” ungkapnya
Ketiga, berpikir kritis. Iradat mengingatkan, kehadiran teknologi baru harus menumbuhkan nalar kritis pelajar, bukan malah membuat mereka pasif.
"Kalau AI hanya jadi alat yang meninabobokan, itu akan sia-sia. Anak-anak harus diajak mempertanyakan, mengkritisi, dan memahami dampak teknologi," ujarnya.
Pengalaman Baik
Lebih lanjut, Iradat menyebut sejumlah negara yang dapat digunakan sebagai cerminan. Menurutnya, Indonesia harus belajar dari pengalaman baik di negara global, tetapi disesuaikan dengan konteks budaya dan kesiapan lokal. Tiongkok, misalnya, membangun pendidikan AI terintegrasi dari bawah untuk mendukung industri teknologi mereka.
Selain itu, India juga fokus membentuk sumber daya manusia (SDM) digital sejak tingkat menengah. Sementara Brasil mendorong pendidikan AI terapan di level vokasi.
"Pun di Swedia, siswa kelas 1-3 sudah dikenalkan pada matematika dasar yang dikaitkan dengan teknologi, juga studi sosial agar mereka paham dampak sosial teknologi. Ini penting, supaya coder masa depan tetap punya kepekaan manusiawi, bukan cuma asal bisa pakai aplikasi," jelasnya.
Iradat juga menekankan pendidikan AI harus butuh kesinambungan lintas kurikulum. Menurutnya, Indonesia sudah termasuk tertinggal melaksanakan ini, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, asal program ini selalu dikawal dengan konsisten dan kurikulumnya tidak bergonta-ganti.
“Asal jangan sampai tidak diteruskan lagi setelah 5 tahun berlalu," tambahnya.
Bagikan