Raih Doktor, Dosen FH UMY Lulus Tercepat di Universitat Pompeu Fabra Spanyol

20 November, 2024 22:29 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

20112024-UMY Doktor lulus tercepat.jpg
Dosen FH UMY, Yordan Gunawan, berhasil menyelesaikan studi doktoral dalam jangka waktu 2,5 tahun. Masa studi S3-nya menjadi yang tercepat di Doctoral Programme in Law Universitat Pompeu Fabra, Spanyol. (EDUWARA/Dok. UMY)

Eduwara.com, JOGJA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY), Yordan Gunawan, berhasil menyelesaikan studi doktoral dalam jangka waktu 2,5 tahun. Masa studi S3-nya menjadi yang tercepat di Doctoral Programme in Law Universitat Pompeu Fabra, Spanyol.

“Menjadi lulusan tercepat, karena saya banyak dibantu para profesor terutama pembimbing yang sangat suportif dan memberi banyak input untuk penelitian disertasi,” kata Yordan Gunawan, dilansir Rabu (20/11/2024).

Yordan telah memulai melakukan penelitian untuk disertasinya, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya, sehingga kondisi ini menjadi pendukung dari percepatan studinya. 

Sebelum memulai studi doktoral di Spanyol, pada 2009 Yordan telah memulai penelitian untuk disertasinya terkait polusi asap di kawasan ASEAN dan bagaimana penanggulangannya melalui hukum internasional yang terikat oleh perjanjian, bernama ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).

Polusi asap yang menyebabkan total kerugian hingga miliaran USD ini, menurut Yordan, belum terselesaikan dengan optimal walaupun telah adanya AATHP. Ia pun menjadikan penelitiannya ini sebagai disertasi doktoral dengan judul “The Effectiveness of Informal International Law in Southeast Asia: Influencing the Enforcement of the 2002 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)”.

Peraturan

Proposal disertasi penelitian Yordan telah diuji pada bulan Juli 2022, dengan sidang akhir ujian disertasi dilaksanakan pada 16 Juni 2024 secara terbuka, dan disaksikan puluhan profesor dan mahasiswa PhD lainnya.

“Ada dua faktor penyebab utama belum optimalnya penanganan polusi asap di kawasan ASEAN ini. Pertama adalah lambannya respon pemerintah Indonesia dalam meratifikasi perjanjian tersebut menjadi peraturan yang meregulasi aktivitas penyebab polusi asap terutama bagi pengusaha. Padahal, Indonesia menjadi negara pengekspor asap terbanyak yang disebabkan oleh kebakaran hutan,” paparnya.

Faktor lainnya, menurut Yordan, karena tidak adanya keseragaman hukum di ASEAN. Ia menilai jika ASEAN yang tidak memiliki hukum supranasional untuk dapat menginstruksikan negara anggotanya agar mengikuti perjanjian yang berlaku, akan sulit untuk menjalankan setiap perjanjian internasional yang memerlukan ketaatan dari setiap negara dan meratifikasi perjanjian seperti AATHP.

“ASEAN tidak memiliki dasar berupa perjanjian yang mengikat dan berfungsi sebagai hukum. Hanya mengandalkan konferensi tingkat tinggi dalam pengambilan keputusan, sehingga menjadikannya sangat bersifat politis,” ujarnya.