Kampus
26 November, 2024 21:08 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Dalam ajang Asian Ornithological Conference yang diselenggarakan di Beijing, Cina pada 14-17 November 2024, dua mahasiswa program Pascasarjana Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan hasil riset mereka tentang kondisi burung endemik kepulauan Maluku.
Paparan pertama disampaikan Dudi Nandika dengan judul ‘Recent Data Analysis Feeding Guilds Bird Community as a Bioindicator for Manusela National Park Management, in Maluku’. Sedangkan paparan kedua disampaikan Dwi Agustina berjudul ‘Aligning Cockatoo Conservation Efforts with Local Huaulu Customary Wisdom on Seram Island, Maluku, Indonesia’.
“Asian Ornithological Conference merupakan konferensi yang mempromosikan penelitian dan konservasi di bidang ornithology atau studi tentang tentang fisiologi, evolusi dan perilaku burung. Konferensi ini dihadiri delegasi 39 negara yang terdiri dari 76 universitas dan 37 lembaga penelitian,” terang Dudi Nandika dilansir Selasa (26/11/2024).
Dudi melakukan riset untuk mencari tahu data populasi dan komposisi jenis burung di Taman Nasional (TN) Manusela, Maluku. Nantinya, data ini akan digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan kawasan dan update data dalam penentuan kebijakan penentuan status suatu jenis burung.
Menurut Dudi, riset tersebut dilatarbelakangi adanya ancaman perburuan liar yang terjadi di wilayah Maluku, di mana 86 persen satwa yang diburu merupakan satwa dari keluarga aves. Sehingga dibutuhkan adanya atensi khusus terhadap perlindungan satwa aves, karena peran ekologi mereka yang dinilai sangat penting untuk ekosistem.
“Peran ekologi burung dalam ekosistem menjadikan keberadaan burung memiliki peranan yang sangat penting, dan dapat dijadikan indikator kesehatan lingkungan dan perubahan ekologi/habitat. Sangat diperlukan kebijakan yang dapat melindungi satwa jenis aves yang berada di Taman Nasional Manusela,” paparnya.
Konflik Kepentingan
Sedangkan Dwi Agustina, dalam risetnya, membahas konflik kepentingan di antara masyarakat adat Huaulu di Maluku dengan pemerintah. Masyarakat adat Huaulu ingin memburu burung Kakatua guna mendapatkan bulu jambulnya untuk kepentingan adat, sementara di sisi lain, hal ini bertentangan dengan kepentingan konservasi pemerintah.
“Riset ini dilaksanakan untuk mendapatkan solusi guna menyelesaikan konflik secara damai,” ujarnya.
Menurut Dwi, riset ini berhasil menemukan jalan tengah guna dapat menyelesaikan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat dengan ditemukannya sebuah solusi yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Solusi yang ditawarkan adalah penggunaan bulu burung kakatua yang sudah rontok dalam pelaksanaan upacara adat, sehingga masyarakat adat tetap dapat melaksanakan upacara adat mereka tanpa memburu burung kakatua sehingga kepentingan konservasi pemerintah bisa tetap berjalan.
“Kesepakatan ini juga menjadi jalan tengah untuk menyelaraskan upaya konservasi burung khususnya kakatua maluku dengan kearifan lokal negeri adat Huaulu,” jelasnya.
Dwi berharap proses konservasi yang dilaksanakan dapat berjalan lancar dan hewan-hewan yang terancam punah dapat dipulihkan populasinya sehingga dapat mengaktifkan kembali ‘seli kaitahu’, untuk memulihkan populasi hewan buruan dan mengatur pemanfaatan hutan.
Atas riset yang dilakukannya, mereka berdua mendapatkan penghargaan ‘First Prize Poster Award’ untuk Dudi Nandika dan ‘First Prize Presentation Awards’ untuk Dwi Agustina. Keduanya juga mendapatkan Travel Award dari AOC Committee.
Bagikan