UNU Yogyakarta dan Perhimpunan INTI Kaji Keberadaan Islam dalam Relasi Indonesia–Tiongkok

23 September, 2024 20:28 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

23092024-UNU kajian jalur sutra.jpg
Mengawali Peringatan 75 Tahun Persahabatan Indonesia-Tiongkok pada 2025, UNU Yogyakarta bersama Perhimpunan INTI menggelar seminar internasional bertajuk 'Dari Jalur Sutra hingga Nusantara: Sejarah, Perkembangan, dan Faktor Islam dalam Relasi Indonesia-Tiongkok' di Kampus UNU Yogyakarta pada Rabu (18/9/2024). (EDUWARA/UNU Yogyakarta)

Eduwara.com, JOGJA - Para akademisi Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta menegaskan kembali keberadaan agama Islam sebagai faktor penting dalam mewujudkan hubungan baik antara Indonesia dan Tiongkok.

Hal tersebut mengemuka dalam seminar internasional bertajuk 'Dari Jalur Sutra hingga Nusantara: Sejarah, Perkembangan, dan Faktor Islam dalam Relasi Indonesia-Tiongkok' yang diselenggarakan di Kampus UNU Yogyakarta pada Rabu (18/9/2024). 

Seminar ini diselenggarakan UNU bersama Perhimpunan Indonesia–Tionghoa (INTI) dan menjadi agenda pemantik untuk mengawali Peringatan 75 Tahun Persahabatan Indonesia-Tiongkok pada 2025.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammad Najib Azca, mengatakan agenda ini penting dalam konteks perubahan dunia yang sangat cepat saat ini.

"Negeri Tiongkok telah menjadi pusat peradaban dunia sejak berabad-abad lalu. Dalam periode itu, agama Islam ternyata juga berkembang melalui peran para ulama di sana," kata Najib dalam rilis, Senin (23/9/2024).

Menurut Najib, saat ini terjadi perubahan kiblat peradaban dunia, yang dulunya di Barat dengan negara Amerika Serikat dan Eropa sebagai pusatnya, namun sekarang bergerak ke Timur khususnya Asia. 

"Di abad yang disebut Asian Century ini, posisi Tionghoa bersama Indonesia sangat penting. Salah satu sumber penting inspirasi itu adalah Tiongkok. Dalam Islam terdapat Hadits tuntutlah ilmu ke negeri Cina. Jadi sejak masa Nabi hidup, peradaban Tiongkok sudah menjadi inspirasi dan suar bagi perkembangan ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Sekjen Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Candra Jap, berharap seminar tersebut memberi wawasan dan pemahaman baru tentang relasi Indonesia-Tiongkok terkait faktor Islam. 

“Ide memajukan hubungan Indonesia dan Tiongkok ini diwujudkan di bidang pendidikan berupa beasiswa. Kami sudah memberangkatkan 300 anak-anak muda Indonesia untuk belajar secara cuma-cuma ke Tiongkok,” ujarnya.

Perkembangan Islam

Dalam seminar tersebut, Li Lin dari Department of Islamic Studies at the Institute of World Religions, Chinese Academy of Social Sciences Tiongkok, menjabarkan babak-babak sejarah perkembangan Islam di Tiongkok sejak masa Dinasti Tang dan Song. 

“Pada tahun 651, datang utusan dari Arab ke Dinasti Tang. Hal ini dianggap oleh para sejarawan sebagai tanda masuknya Islam ke Tiongkok,” jelasnya.

Pada abad 14 di masa Dinasti Yuan, sejumlah besar masjid dibangun. Sistem pendidikan Jingtang Jiaoyu yang melatih imam dan mendidik umat Islam dalam pengetahuan agama berkembang di masa Dinasti Ming dan Qing. 

Pada akhir Dinasti Qing dan awal Republik Tiongkok, para cendekiawan Muslim menganjurkan reformasi pendidikan agama Islam dan mendirikan sekolah-sekolah baru. 

“Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, Muslim Tiongkok memperoleh hak politik yang setara. Keyakinan agama, aktivitas keagamaan, dan adat istiadat umat Islam dilindungi dan dihormati oleh hukum," paparnya.

Pada bagian lain, Wakil Rektor UNU Yogyakarta, Suhadi Cholil, menjelaskan relasi Indonesia–Tiongkok yang hidup dalam masyarakat dan terekam di artefak lintas budaya, seperti arsitektur dan praktik kultural ala Islam di tempat-tempat bersejarah bagi Tionghoa, serta sebaliknya, di sejumlah daerah di Indonesia.

“Menarik melihat ada unsur-unsur Islam di jantung ibadah Tionghoa, seperti arsitektur Islam di kelenteng. Ornamen Tiongkok juga tidak asing di pusat-pusat budaya Islam, seperti ukiran naga di mimbar khotbah. Ini menunjukkan adanya kesetaraan dan saling hormat dalam tradisi yang berbeda," katanya.

Dalam relasi global, Tiongkok memiliki jalur sutra sebagai jalur perdagangan dan pengembangan ekonomi. Sementara Indonesia juga punya kepentingan nasional melalui jalur rempah.