Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Kerja Sama FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), Wiwit Suryanto, menyatakan keprihatinan kalangan akademisi terkait menurunnya minat pelajar mendalami ilmu sains, khususnya fisika. Padahal, tanpa pemahaman kuat terhadap bidang sains, sebuah bangsa dinilai akan kesulitan bersaing di era teknologi saat ini.
“Kondisi ini mengisyaratkan lampu merah yang harus mendapat perhatian dari banyak pihak. Saya kira faktor penyebab turunnya minat siswa terhadap sains, di antaranya karena metode pengajaran kurang menarik,” terang Wiwit Suryanto, Sabtu (22/2/2025).
Terlebih lagi, lanjut Wiwit, dalam sistem pendidikan masih fokus pada penerapan hafalan rumus dan teori tanpa memberikan pengalaman eksplorasi yang cukup. Ini masih ditambah kurangnya eksperimen dan praktik langsung, sehingga menjadikan sains terasa abstrak dan sulit dipahami.
Wiwit pun tidak menampik kenyataan bila kurangnya minat terhadap sains ini karena sains dinilai tidak bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan tidak sedikit siswa mempertanyakan manfaat belajar sains karena sangat jarang dikaitkan dengan teknologi sehari-hari yang bersinggungan hidup mereka, seperti smartphone, internet, atau kendaraan listrik.
“Ketidakmampuan melihat manfaat langsung dari ilmu sains membuat mereka kehilangan motivasi untuk mempelajarinya. Banyak siswa merasa takut terhadap simbol, angka, dan persamaan matematika yang kompleks. Narasi hanya orang jenius yang bisa memahami membuat banyak siswa menyerah sebelum mencoba,” jelasnya.
Ketergantungan Teknologi
Menurut Wiwit, jika generasi muda semakin lama tidak berminat pada sains akan berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Indonesia sebagai bangsa besar akan terus memiliki ketergantungan teknologi pada negara asing.
“Tanpa memiliki ilmuwan dan insinyur yang kompeten, Indonesia hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. Negara tentu akan semakin bergantung pada teknologi impor, yang dapat menghambat kemandirian dan daya saing nasional,” paparnya.
Pada era persaingan seperti saat ini, lanjut Wiwit, negara-negara maju seperti China, Jepang, Taiwan, Korea dan Amerika Serikat berinvestasi besar-besaran dalam riset sains dan teknologi. Jika generasi muda Indonesia tidak tertarik pada sains, tentu akan membuat semakin tertinggal dalam persaingan global.
Salah satu yang disarankan Wiwit adalah mengevaluasi metode berbasis ujian, bukan pemahaman konseptual. Model ujian masih mengutamakan hafalan, bukan kreativitas dan pemahaman yang mendalam.
Solusi lain adalah mewajibkan pelajaran sains di sekolah dan mengubah cara mengajar dari hafalan ke eksplorasi. Hal lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pembelajaran berbasis eksperimen dan projek nyata disertai penggunaan teknologi digital seperti simulasi, augmented reality, dan coding interaktif.
Terlebih mengaitkan pelajaran sains dengan teknologi modern yang digunakan para siswa, menurut Wiwit, sesekali bisa pula mengadakan kunjungan ke industri dan kolaborasi dengan perusahaan teknologi.