Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memastikan tidak bisa memenuhi biaya operasional siswa yang menempuh pendidikan di jenjang SMAN/SMKN. Tahun ini biaya operasional setiap siswa SMA dimulai dari Rp 4,8-4,9 juta dan siswa SMK dimulai dari Rp 5,1-5,5 juta.
Besaran biaya operasional ini disampaikan Kabag Perencanaan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Suci Rohmadi pada diskusi bertajuk '#DIYtidakJadiNirPungutanSekolah?' yang digelar Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY pada Rabu (22/2/2023).
"Nilai besaran biaya operasional per siswa per tahun ini didasarkan SK Gubernur No:20/KEP/2023 tentang besaran minimal biaya operasional satuan pendidikan jenjang SMA dan SMK," papar Suci.
Disebutkan biaya operasional bagi siswa SMKN Teknik setiap tahun membutuhkan Rp 5,5 juta, SMKN Non Teknik membutuhkan Rp 5,1 juta. Sedangkan untuk siswa SMAN IPA membutuhkan biaya operasional Rp 4,9 juta dan SMAN IPS membutuhkan Rp 4,8 juta.
Dari anggaran BOSNAS yang diberikan pemerintah pusat melalui APBN, setiap siswa SMAN/SMKN di Yogyakarta mendapatkan bantuan rata-rata untuk siswa SMAN senilai Rp 1,57 juta dan SMAKN sebesar Rp 1,67 juta.
Kemudian bantuan dari BOSDA yang bersumber dari APBD DIY 2023, rata-rata nominal yang didapatkan setiap siswa SMAN adalah Rp 1,5 juta dan SMKN sebesar Rp 2 juta.
"Jika dihitung, total biaya operasional dikurangi bantuan BOSNAS ditambah BOSDA, masih terjadi kekurangan yang besarannya tidak bisa dipenuhi pemerintah daerah," katanya.
Dirincikan, untuk siswa SMKN Teknik dibutuhkan tambahan biaya Rp 1,82 juta setahun atau Rp 152 ribu per bulan, SMKN Non Teknik Rp 1,42 juta per tahun atau senilai Rp 152 ribu per bulan.
Untuk siswa SMAN IPA, terjadi kekurangan senilai Rp 1,8 juta setahun atau Rp1 52 ribu per bulan dan SMAN IPS ada kekurangan Rp 1,72 juta atau Rp 144 ribu per bulan.
"Angka kekurangan inilah yang nantinya kita tarikkan ke para wali murid untuk membantu mengatasi keterbatasan melaksanakan pendidikan yang berkualitas di jenjang SMA/SMK," jelasnya.
Pungutan
Suci juga menegaskan sesuai PP 48/2008 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar, pemerintah belum mengatur mengenai larangan penarikan pungutan di satuan pendidikan menengah. Yang dilarang adalah pungutan di jenjang pendidikan dasar yaitu SD dan SMP.
Karenanya di dalam Raperda tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan Menengah dan Khusus nanti akan diatur tegas bahwa pungutan ini dilarang diterapkan di jenjang pendidikan dasar, besaran pungutan didasarkan pada rencana operasional sekolah yang jelas, tidak dikenakan pada siswa atau wali murid yang tidak mampu serta disampaikan ke publik.
"Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan pungutan pendidikan dapat tidak dilaksanakan apabila Pemda sanggup memenuhi seluruh kebutuhan operasional santuan pendidikan," ujarnya.
Pakar hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Riawan Tjandra yang turut menjadi narasumber menyebutkan persoalan besaran biaya pendidikan ini tidak hanya dialami Indonesia, namun juga negara berkembang lainnya.
"Dibandingkan dengan negara maju, subsidi biaya pendidikan negara berkembang sangatlah kurang dari sisi besaran maupun prosetasenya. Ini menjadi isu penting negara-negara berkembang," katanya.
Sebagai jalan tengah keterbatasan anggaran dan peningkatan kualitas pendidikan, Riawan menyatakan semua pemangku dunia pendidikan Indonesia harus menegaskan ulang konsep pendidikan itu seperti apa sejak awal.
"Apakah menjadi tanggung jawab pemerintah atau harus melibatkan masyarakat seperti sekolah swasta?" tanyanya.
Terkait dengan penggunaan Dana Keistimewaan (Danais) untuk membantu dunia pendidikan di DIY, Riawan melihat hal ini bisa memungkinkan asalkan dilakukan perubahan pada peraturan Kementerian Keuangan terkait peruntukannya.