Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA- Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Mokhammad Najih, menegaskan perguruan tinggi harus bertransformasi menjadi laboratorium etika publik dan integritas. Langkah ini untuk membangun budaya masyarakat yang bersih, berintegritas, dan bebas dari maladministrasi.
Penegasan ini disampaikan Najih saat menghadiri acara bertajuk ‘Tantangan Perguruan Tinggi dalam Membangun Masyarakat Anti-Maladministrasi: Sinergi Ombudsman dan Perguruan Tinggi’ di Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Najih menyoroti kampus kini berada di tengah pusaran perubahan besar, didorong oleh transformasi digital, revolusi Kecerdasan Buatan (AI), dan persaingan global yang ketat. Ia mengutip laporan World Economic Forum 2024 yang memprediksi bahwa 44 persen keterampilan kerja akan mengalami disrupsi dalam lima tahun ke depan akibat perkembangan teknologi.
“Kampus tidak boleh sekadar menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga laboratorium etika publik dan integritas,” tegas Najih, dilansir pada Jumat (17/10/2025).
Najih juga menekankan dunia pendidikan tinggi harus melahirkan sumber daya manusia yang adaptif, kreatif, serta tangguh dalam menghadapi perubahan zaman. Selain tantangan global, ia juga menyoroti permasalahan domestik, seperti kesenjangan mutu pendidikan, rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang baru mencapai 32 persen, serta lemahnya budaya riset dan hilirisasi hasil penelitian di Indonesia.
Hal ini, menurut Najih, harus dijawab dengan reformasi kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri serta penerapan kebijakan micro-credential untuk menggabungkan jalur akademik dan vokasi secara fleksibel.
Multiple Effect
Ombudsman, kata Najih, berperan dalam menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi, memberikan saran kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pelayanan publik, hingga melakukan investigasi dan pencegahan terhadap potensi penyalahgunaan wewenang.
“Maladministrasi bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi bisa berdampak luas terhadap kepercayaan publik, stabilitas sosial, bahkan investasi ekonomi. Karena itu, pendidikan anti-maladministrasi harus ditanamkan sejak dini, dan perguruan tinggi memiliki posisi yang sangat strategis dalam hal ini,” tegasnya.
Najih menegaskan, praktik maladministrasi memiliki multiple effect yang merugikan, seperti menurunkan investasi, meningkatkan pengangguran, menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, hingga memicu konflik sosial akibat ketimpangan pelayanan publik.
Untuk mencegah maladministrasi dan menumbuhkan kesadaran publik terhadap pentingnya tata kelola yang bersih, Ombudsman RI memperkuat sinergi dengan dunia pendidikan tinggi melalui langkah-langkah konkret.
Program kerja sama yang ditempuh meliputi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), pembentukan unit pengawas pelayanan publik di kampus sebagai laboratorium pembelajaran integritas. Serta keterlibatan mahasiswa sebagai ‘Sahabat Ombudsman’ untuk mengamati dan melaporkan potensi maladministrasi di lingkungan sekitar.
“Kami ingin agar kampus menjadi ruang moral dan intelektual yang menumbuhkan kepekaan terhadap isu pelayanan publik. Mahasiswa harus menjadi agen pengawas sosial yang berani bersuara demi keadilan dan pelayanan publik yang berkualitas,” tutup Najih.