Bagikan:
Bagikan:
JAKARTA – Misinformasi terhadap profil risiko yang dimiliki produk tembakau alternatif dapat menghambat perokok dewasa untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai produk tembakau alternatif. Faktanya, berdasarkan sejumlah hasil kajian ilmiah, produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok.
Oleh karena itu, sejumlah pakar dan akademisi berharap berbagai kajian ilmiah yang komprehensif terkait produk tembakau alternatif dapat lebih ditingkatkan lagi di dalam negeri. Kajian ilmiah ini akan menjadi acuan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai profil risiko yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif.
Direktur Eksekutif Centre for Youth and Population Research (CYPR), Dedek Prayudi, menjelaskan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif membutuhkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan atau kolaborasi multidisiplin dengan konsep pentahelix. “Ada peran pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media massa yang bertanggung jawab untuk melakukan riset dan menyebarluaskan informasi yang akurat dan komprehensif kepada masyarakat,” ujar Dedek.
Dedek berharap bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan RI, mau membuka diri terhadap kajian ilmiah produk tembakau alternatif sebagai upaya memperluas informasi yang akurat dan mencegah misinformasi. Dengan menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan standar dan tinjauan sistematis, maka hasil kajian ilmiah tersebut dapat menjadi landasan dalam meningkatkan kesadaran publik mengenai produk tembakau alternatif.
“Riset-riset produk tembakau alternatif dari beberapa universitas dalam negeri, misalnya Universitas Padjadjaran, dapat dipertimbangkan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna membuktikan bahwa produk tembakau alternatif memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok,” kata Dedek.
Lebih lanjut, Dedek menambahkan bahwa produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, kantong nikotin, dan rokok elektrik (vape), berbeda dengan rokok dari aspek profil risiko hingga karakteristiknya. Untuk itu, kajian ilmiah harus dilakukan secara detail agar tidak ada generalisasi antara produk tembakau alternatif dengan rokok .
“Asalkan disosialisasikan dengan baik dan setiap pemangku kepentingan dapat menerima fakta penelitian berbasis data sains, maka hasil kajian ilmiah produk tembakau alternatif akan diterima dengan baik karena buktinya transparan dan bisa dipertanggung jawabkan,” jelas Dedek.
Pada kesempatan berbeda, Akademisi dari Fakultas Kesehatan Gigi Universitas Padjadjaran, Dr. Amaliya, drg., Ph.D , mengatakan produk tembakau alternatif dapat menjadi opsi bagi perokok dewasa untuk menghantarkan nikotin dengan risiko yang lebih rendah daripada rokok. Hal ini juga diperkuat melalui kajian klinis yang dilakukan dirinya bersama Dr. drg. Agus Susanto, M.Kes., Sp.Perio. (K), serta drg. Jimmy Gunawan, Sp.Perio. dengan judul Respon Gusi Pada Pengguna Vape (Rokok Elektrik) Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental).
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna rokok elektrik yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan tingkat peradangan dan pendarahan gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna rokok elektrik telah kembali normal,” jelas Amaliya.
Dengan fakta tersebut, pemerintah seharusnya dapat memaksimalkan produk tembakau alternatif untuk menurunkan prevalensi merokok sekaligus meningkatkan perbaikan kesehatan publik. Produk tersebut dapat menjadi solusi komplementer dari berbagai program dan upaya yang telah dijalankan pemerintah selama ini.