logo

Kampus

Angkat Persoalan Stigma Negatif Ibu Tunggal, Kartika Raih Gelar Doktor dari UI

Angkat Persoalan Stigma Negatif Ibu Tunggal, Kartika Raih Gelar Doktor dari UI
Kartika Sari Dewi saat sidang promosi doktor Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)
Bhakti Hariani, Kampus28 Januari, 2022 16:07 WIB

Eduwara.com, DEPOK - Persepsi mengenai wanita yang ditinggal cerai di dalam budaya patriarki cenderung negatif. Kesulitan finansial yang dialami, tekanan dari lingkungan sosial, dan dianggap kurang mampu mengasuh anak, adalah masalah yang mereka hadapi. 

Stigmatisasi negatif ini menjadi latar belakang disertasi berjudul Dinamika Kualitas Interaksi Keluarga, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga Ibu Tunggal Pascaperceraian yang ditulis oleh Kartika Sari Dewi.  Disertasi ini berhasil dipertahankan pada sidang promosi doktor Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Stigma ini memunculkan gambaran broken home family yang dianggap tidak dapat memberikan kesempatan bagi anggota keluarganya untuk berkembang. Ketidakberfungsian keluarga sering kali dikaitkan dengan permasalahan psikologis anak, seperti kenakalan remaja dan gangguan kesehatan mental anak.

“Ada beberapa ibu yang mengungkap stigmatisasi lingkungan terhadap janda cerai. Dia dan anaknya sering kali dipandang sebagai broken home family. Hal ini memengaruhi upaya mereka mencapai kesejahteraan keluarga karena lingkungan memandang perceraian sebagai peristiwa negatif,” ujar Dewi dalam siaran pers yang diterima Eduwara.com, Jumat (28/1/2022).

Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini mengungkap gambaran kesejahteraan keluarga pada keluarga ibu tunggal pascaperceraian dan faktor-faktor internal yang mendukung ibu-anak dalam menghadapi tantangan pascaperceraian. 

Selanjutnya, dipaparkan Dewi, studi ini berfokus pada dinamika interaksi keluarga, dukungan sosial, dan peran ayah pascaperceraian dalam menghadapi tantangan keluarga berstruktur tidak utuh untuk meraih kesejahteraan keluarga.  Partisipan penelitian ini adalah sepuluh ibu berusia 30–48 tahun dan empat anak berusia 18–30 tahun.

Berbeda dari pemahaman yang berkembang, hasil studi ini mengungkapkan bahwa ketidakberfungsian keluarga pascaperceraian bukan merupakan dampak dari perubahan struktur keluarga, melainkan dampak interaksi interpersonal yang tidak sehat. 

Dewi menuturkan, ada tidaknya perubahan struktur, keluarga tetap dapat mengalami disfungsi ketika antaranggota tidak memiliki interaksi yang berkualitas. Sebaliknya, meskipun perubahan struktur terjadi, dengan adanya proses penyesuaian, keluarga bercerai tetap memiliki kesempatan untuk dapat berfungsi optimal dan sejahtera.

 “Keluarga bercerai dapat mencapai kesejahteraannya ketika memiliki kondisi penyangga protektif berupa kemandirian finansial ibu, keterbukaan dalam interaksi dan relasi positif ayah-anak, proaktif dalam mencari dukungan sosial, serta spiritualitas positif pada ibu,” papar Dewi.

Peran ayah pascaperceraian dalam menyediakan relasi positif bersama anak tetap dibutuhkan. Meskipun demikian, perceraian tetap membawa dampak psikologis pada anak terkait dengan makna keluarga, skema gender, perbedaan persepsi terhadap dukungan keluarga besar.

Read Next