logo

Sekolah Kita

Di Kota Solo, Program Wajib Belajar 12 Tahun Masih Mengalami Kendala

Di Kota Solo, Program Wajib Belajar 12 Tahun Masih Mengalami Kendala
FGD "Seberapa Siapkah Implementasi Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta?', Rabu (23/11/2022). (EDUWARA/K. Setia Widodo)
Redaksi, Sekolah Kita24 November, 2022 03:15 WIB

Eduwara.com, SOLO – Program wajib belajar 12 tahun merupakan program prioritas yang telah dicanangkan pemerintah dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Tetapi di lapangan masih terdapat sejumlah catatan yang ditemukan terkait dengan implementasi program itu.

Sebut saja, ketimpangan antara angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). Sampai dengan tahun 2021, RLS di Indonesia baru mencapai 8,54 atau hanya sampai kelas II SMP. Padahal HLS sudah mencapai angka 13,08 yang berarti peluang menempuh pendidikan sebenarnya sudah mencapai tingkat Diploma I.

Demikian paparan awal yang disampaikan Direktur Yayasan Satu Karya Karsa (YSKK), Iwan Setiyoko dalam Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Seberapa Siapkah, Implementasi Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta?”, Rabu (23/11/2022) di Hotel Sarila, Serengan, Solo.

“Kemudian, berdasarkan data dari Komisi E DPRD Jawa Tengah, angka putus sekolah di Jawa Tengah dari tahun 2018 hingga 2020 yakni 11.249 siswa. Jadi menurut saya hal ini masih cukup tinggi,” kata dia.

Adapun di Kota Solo, sambung Iwan, angka RLS di tahun 2020 baru mencapai 11,25 untuk laki-laki dan 10,30 untuk perempuan. Angka tersebut menunjukkan RLS di Kota Solo setara tidak lulus SMA. Selain itu, juga mengindikasikan masih adanya kesenjangan akses antara laki-laki dengan perempuan pendidikan di Kota Solo.

Angka Partisipasi Semakin Rendah

Sedangkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Solo pada Februari 2020 menunjukkan sebanyak 1.519 anak diketahui putus sekolah yang mayoritas usia SMA. Data tahun 2020 juga menunjukkan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA Sederajat baru mencapai angka 81,43.

“Ketika masih di bawah kisaran 90 sebenarnya tergolong warning. Kalau melihat APK dari SD yang berangka 105,95 dan SMP 92,50 artinya semakin naik jenjang pendidikannya, angka APK semakin turun,” ujar dia.

Menurut temuan YSKK, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tesebut. Pertama, terkait dengan infrastruktur terutama kurangnya SMA Negeri di Kecamatan Pasar Kliwon. Sehingga ketika mengikuti aturan zonasi, anak-anak usia SMA di daerah tersebut mengalami kesulitan.

Kedua, angka pernikahan dini di Kota Solo yang masih cukup tinggi. Data tahun 2021 menunjukkan terdapat 120 anak yang mengajukan pernikahan dini ke KUA.

 “Sampai Oktober 2022, meskipun turun tetapi masih cukup tinggi karena ada 50 anak usia 14-18 tahun yang mengajukan pernikahan dini,” tambah dia.

Ketiga, lanjut Iwan, yakni faktor kemiskinan. Menurut data BPS Kota Solo, tahun 2020 angka kemiskinan di Kota Bengawan yakni 9,03 persen dan naik menjadi 9,40 persen pada tahun 2021. Menurut Iwan, hal tersebut wajar karena dampak pandemi Covid-19 cukup berpengaruh terhadap peningkatan angka kemisinan.

“Tetapi yang perlu diperhatikan, ketika angka Partisipasi Sekolah (APS) menurun, akan berdampak terhadap angka-angka pengangguran dan partisipasi kerja. Selain itu juga berdampak dengan berbagai permasalahan sosial lainnya,” tukas dia.

Solusi

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Solo, Abdul Haris Alamsyah mengatakan salah satu keberhasilan program wajib belajar yaitu APS. Jika kurang dari 95 persen belum bisa dikatakan berhasil.

Sejalan dengan YSKK, pihak Disdik Solo juga telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terkendalanya implementasi program wajib belajar 12 tahun. Faktor-faktor itu tidak jauh dengan yang dikemukakan Iwan Setiyoko.

“Faktor-faktor tersebut ialah tingkat kemiskinan, akses menuju ke sekolah, motivasi orang tua terhadap pendidikan, dan perhatian pemerintah daerah,” kata dia.

Solusi dari faktor tingkat kemiskinan misalnya, yaitu dengan membebaskan siswa dari segala macam pungutan terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin.

“Dinas Pendidikan sudah memberikan edaran kepada sekolah negeri terkait regulasi pemungutan biaya. Untuk sekolah swasta, kami hanya bisa mengimbau dan memberikan solusi jika ada permasalahan yang terjadi. Intinya pemungutan tidak boleh,” tegas dia.

Kemudian pemberian bantuan atau subsidi untuk segala kebutuhan personal siswa, baik seragam, buku, dan bila perlu konsumsi. Selain itu juga pemberian subsidi ke sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Terkait dengan wilayah yang belum terdapat SMA Negeri, pihak Disdik Solo telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Di Kota Solo ada dua kecamatan yang belum ada SMA negeri, yakni Pasar Kliwon dan Laweyan.

“Untuk Pasar Kliwon, insya Allah tahun depan sudah pasti akan dibangun di SD Mojo karena luasnya sekitar 6,800 m2. Pada awalnya, pemerintah kota memberikan hibah tanah kepada provinsi untuk pembangunan SMA seluas 3 ribu m2. Tetapi pemerintah provinsi menghendaki paling tidak sekitar 7 ribu m2. Oleh karena itu, nantinya SD Mojo kami bangun lagi di tanah yang 3 ribu m2 itu. Progres sekarang ini masih di tahap pemindahan aset ke provinsi,” jelas dia. (K. Setia Widodo)

Read Next