logo

Kampus

Ketergantungan pada AI Picu Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis

Ketergantungan pada AI Picu Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis
Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) secara berlebihan oleh Generasi Z --baik untuk tugas kuliah, mencari ide kreatif, maupun sekadar mengobrol-- dinilai telah mencapai tahap mengkhawatirkan. Ketergantungan pada AI pada hampir setiap aktivitas dikhawatirkan memicu fenomena underload yang berdampak pada berkurangnya kemampuan otak dalam berpikir kritis. (EDUWARA/Dok. UGM)
Setyono, Kampus06 November, 2025 04:36 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) secara berlebihan oleh Generasi Z --baik untuk tugas kuliah, mencari ide kreatif, maupun sekadar mengobrol-- dinilai telah mencapai tahap mengkhawatirkan. Ketergantungan pada AI pada hampir setiap aktivitas dikhawatirkan memicu fenomena underload yang berdampak pada berkurangnya kemampuan otak dalam berpikir kritis.

Perhatian serius ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sekaligus Pemerhati Rekayasa Perangkat Lunak, Ridi Ferdiana. Ia mengamati peningkatan masif penggunaan AI di kalangan anak muda sebagai sebuah keniscayaan bagi generasi yang tumbuh di lingkungan digital.

“Salah satu bentuk disrupsi terbesar bukan hanya kemunculan AI secara umum, tetapi hadirnya generative AI yang mengubah cara berpikir generasi muda,” kata Ridi Ferdiana pada Rabu (5/11/2025).

Pernyataan Ridi didukung oleh survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025, yang menempatkan Gen Z sebagai pengguna AI terbanyak (43,7 persen), disusul Milenial (22,3 persen). Angka ini menunjukkan AI telah menjadi bagian integral dari kehidupan generasi muda di Indonesia.

“Generasi Z itu lahir sebagai digital native, sudah dimanjakan teknologi sejak kecil. Generative AI sekarang menjadi bentuk disrupsi terbesar yang mengubah cara berpikir dan hidup mereka,” tambahnya.

Di balik kemudahan yang ditawarkan AI, Ridi menyoroti dampak negatif akibat penggunaan yang kian masif tanpa adanya verifikasi informasi yang memadai. Ketergantungan berlebih dapat menyebabkan fenomena underload, di mana otak jarang diasah untuk berpikir secara mandiri.

“Hal ini dapat berisiko pada penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat, serta terjadi efek brain rot karena otak jarang diasah. Jadi critical thinking dan aspek memorize menurun, makanya yang paling gawat terjadi efek brain rot karena malas mikir dan dikit-dikit jadi tanya ke AI,” paparnya.

Konsep ERA

Ridi juga mencatat adanya pergeseran perilaku dan budaya antargenerasi. Generasi muda kini cenderung beralih dari mesin pencari konvensional ke AI untuk menemukan jawaban instan.

Menghadapi tantangan ini, Ridi menekankan pentingnya sikap bijak agar generasi muda tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi. Ia memperkenalkan konsep ERA --singkatan dari Essential, Rating, dan Applicable-- sebagai pedoman etika dan literasi digital.

Essential adalah upaya mencari pengetahuan dasar tetap harus menggunakan buku sebagai sumber acuan ilmiah, bukan langsung mengandalkan AI. Lalu rating, berpikir kritis dalam mempertimbangkan keputusan secara mandiri terlebih dahulu, kemudian memanfaatkan AI untuk meminta opini atau perspektif tambahan.

Sedangkan applicable adalah memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk memperbaiki dan menyelesaikan tugas, setelah tahapan Essential dan Rating dipahami dengan baik.

“Dari situ kita menjadikan generative AI sebatas partner kita, bukan menggantikan peran kita untuk menyelesaikan permasalahan secara penuh. Itulah mengapa pentingnya penerapan konsep ERA ini di dunia digital seperti saat ini. Jadi generasi muda dapat menjaga kemampuan berpikir kritis di era gempuran teknologi,” pungkasnya.

Read Next