Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Guru SLB Negeri 2 Yogyakarta, Sunarminingsih, berhasil mengembangkan metode pembelajaran berkonsep permainan tradisional yang diperuntukkan bagi siswa penyandang disabilitas grahita. Proyek ini menjadi juara dua dalam Lomba Praktik Terbaik dalam Pengajaran yang diselenggarakan PGRI Kota Yogyakarta.
Dinamakan ‘Ramahita’ atau kepanjangan dari ‘Ramah Tunagrahita’, metode pengajaran yang dikembangkan Sunarminingsih ini sesuai dengan tema perlombaan ‘Transformasi Guru Wujudkan Indonesia Maju’ dengan sub tema ‘Transformasi Guru dalam Budaya Bermain Dolanan Tradisional’.
“Pengalaman saya, budaya bermain dolanan tradisional masih sangat perlu diterapkan untuk siswa tunagrahita yang memiliki keterbatasan, seperti perkembangan motorik, komunikasi dan berinteraksi sosial,” kata Sunarminingsih, dilansir Senin (27/11/2023).
Sunarminingsih memaparkan terkadang siswanya lebih senang bermain sendiri, misalnya bermain game di handphone sehingga berdampak kurang berkomunikasi dengan temannya saat bermain. Bahkan antar siswa sendiri ada kecenderungan kurang mengenal.
“Sehingga kita melihat praktik-praktik bermain dolanan tradisional bisa mendorong banyak interaksi dengan lingkungan dan teman-temannya,” jelasnya.
Kondisi dan Karakter Siswa
Melalui Ramahita, Sunarminingsih kemudian memodifikasi peralatan dan aturan permainan tradisional yang lebih praktis dan mudah dipahami oleh siswanya. Permainan tradisional yang diterapkan Sunarminingsih antara lain dakon, bekelan dan engklek.
Menurut Sunarminingsih, permainan tradisional tersebut dapat melatih motorik halus, kasar, kemampuan berhitung, komunikasi, kreativitas dan keterampilan sosial. Pertimbangan lainnya adalah halaman sekolah yang kurang luas untuk bermain siswa.
Secara umum, Ramahita tetap berfokus pada dolanan tradisional tapi ada modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter siswa sebagai anak yang kebutuhan khusus. Modifikasi tidak hanya difokuskan pada alat permainannya, namun juga menggunakan aturan permainan yang ringan. Lalu, digunakan pula warna yang berbeda di lubang rumah untuk dakon.
“Kalau untuk bekelan tidak terbuat dari kecik yang dari plastik saja tapi ada yang dari kayu. Kemudian ada yang dari biji-bijian. Terus engkleknya juga kami modifikasi dengan warna dan aturan yang mudah,” jelasnya.
Dengan memodifikasi permainan tradisional, Sunarminingsih berharap dapat meningkatkan keterampilan sosial, motorik, komunikasi, perkembangan kognitif dan meningkatnya kepercayaan diri siswa penyandang disabilitas grahita.
“Di era digital seperti ini, anak-anak tidak melupakan permainan tradisional. Dampaknya, di rumah anak mau bermain bersama keluarga, menambah interaksi dengan orang lain dan melatih motorik kasar maupun motorik halusnya,” pungkasnya.