logo

Art

Ruwat Rawat Prasasti Sarungga, Upaya Penguatan Budaya Leluhur Masyarakat Wonosegoro

Ruwat Rawat Prasasti Sarungga, Upaya Penguatan Budaya Leluhur Masyarakat Wonosegoro
Ruwat Rawat Prasasti Sarungga, Wonosegoro, Cepogo, Boyolali, Rabu (25/5/2022). (Eduwara/K.Setia Widodo)
Redaksi, Art27 Mei, 2022 10:40 WIB

Eduwara.com, BOYOLALI – Masyarakat Wonosegoro dan komunitas warisan budaya di Boyolali menyelenggarakan prosesi Ruwat Rawat Prasasti Sarungga sebagai bagian dari upaya pelestarian cagar budaya dan warisan sejarah.

“Selamat tahun Saka yang telah berlalu 823 tahun, pada bulan Jyesta tanggal 5 paruh bulan terang, pada Haryang, Wagai, Soma. Pada saat ini terdapat pertapaan di Sarungga yang hendaklah dinamai...”. Demikianlah kurang lebih terjemahan dari goresan aksara Jawa Kuno yang tertulis pada sebongkah batu di tengah ladang pinggir jurang milik salah seorang warga Wonosegoro, Cepogo, Boyolali bernama Sarwi.

Batu bertuliskan aksara Jawa Kuno itu dikenal sebagai Prasasti Sarungga atau Prasasti Wonosegoro. Hingga kini, prasasti tersebut masih in situ atau berada di tempat aslinya sejak ditemukan tahun 2021 lalu. Jika dikonversikan pada tahun Masehi, keterangan waktu yang terdapat di prasasti menunjukkan pada 25 Mei 901 Masehi.

Tepat 1121 tahun setelahnya, Rabu (25/5/2022) dengan prakarsa Perhimpunan Boyolali Heritage Society (BHS), seluruh elemen masyarakat Wonosegoro tumpah ruah di sekitar prasasti. Mereka melaksanakan Ruwat Rawat sebagai peringatan 1121 tahun ditulisnya Prasasti Sarungga. Secara lebih luas, acara tersebut juga sebagai pengingat perjalanan dari peradaban masyarakat lereng timur gunung Merbabu dan Merapi.

Ketua Panitia Ruwat Rawat Kusworo Rahadyan mengatakan acara tersebut merupakan niti tilas atau upaya mengingat kembali mengenai keberadaan dan hal yang termuat dalam Prasasti Sarungga.

“Keberadaan Prasasti Sarungga menjadi bukti otentik adanya peradaban tinggi di wilayah lereng timur Merapi dan Merbabu. Kemudian juga menunjukkan adanya kebudayaan tulis-menulis sejak 1121 tahun yang lalu,” kata dia ketika dihubungi Eduwara.com, Kamis (26/5/2022) melalui saluran telepon Whatsapp.

Selain itu, sambung Kusworo, lereng Merapi dan Merbabu di wilayah Boyolali kaya akan kebudayaan yang berbasis masyarakat. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Ruwat Rawat turut ditampilkan pementasan seni yakni Rodat, Jangkrik Ngenthir, dan Campur Bawur yang lahir dan berkembang di wilayah tersebut. 

Penampilan dari komunitas sekitar juga turut dihadirkan untuk meramaikan acara itu, seperti Komunitas Sedalu, Kelompok Sapu Gerang, Kelompok Kesenian Sribudi Utomo, Kelompok Kesenian Kridya Madya, serta Don Tattoo.

Kusworo menambahan, tujuan besar dari Ruwat Rawat adalah memberikan sosialisasi keberadaan peninggalan arkeologis yakni Prasasti Sarungga. Hal tersebut berangkat dari masyarakat Wonosegoro yang awalanya belum mengetahui cara merawat serta bagaimana kebermanfaatan prasasti tersebut. Selain itu juga penguatan budaya lokal yang harus selalui dilibatkan agar tidak hilang akibat tergerus arus besar teknologi.

Prasasti Sarungga. (Eduwara/K.Setia Widodo)

Sosialisasi dan Penguatan Budaya

Melalui Ruwat Rawat, Kusworo berharap bisa menjadi wahana pelestarian budaya dan juga benda cagar budaya berupa prasasti.

“Pelestarian budaya dan benda cagar budaya harus berbasis masyarakat serta aspek pemanfaatannya jelas. kalau tidak hanya menjadi hal yang muspra. Prasasti Sarungga yang ditulis 1121 tahun yang lalu juga menunjukkan keharmonisan antara alam, budaya, dan masyarakat. Intinya aspek sosialisasi dan penguatan budaya menjadi hal yang ditekankan melalui Ruwat Rawat ini,” jelas dia.

Prosesi Ruwat Rawat diawali dengan upacara dan doa di komplek makam Wonosegoro dilanjutkan kirab menuju panggung utama yang terletak di atas komplek makam. Pantauan Eduwara.com, kirab dipandu oleh empat penari sebagai cucuk lampah diiringi Gendhing Ibu Pertiwi yang dimainkan oleh Kelompok Laras Madya Tegalrejo. Setelah sampai di panggung utama, para peserta kirab duduk di tempat yang sudah disediakan. Sesaji berupa beragam hasil bumi juga ikut serta dalam prosesi kirab tersebut.

Pantauan Eduwara.com, para warga, tetua desa, biksu, pejabat pemerintahan desa mengikuti prosesi kirab tersebut. Turut hadir pula Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali, Darmanto; Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Sukronedi; serta Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Restu Gunawan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali, Darmanto dalam sambutannya berharap, keberadaan Prasasti Sarungga bisa memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat Wonosegoro. “Ketika dari pusat hingga masyarakat bersinergi, insyaallah bisa dilakukan bersama-sama. Sehingga keberadaan Prasasti Sarungga bisa lestari, bermanfaat, dan mensejahterakan masyarakat,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Restu Gunawan mengapreasi setinggi-tingginya atas diselenggarakannya Ruwat Rawat tersebut. Dia mengimbau kepada masyarakat untuk mengikuti leluhur mereka akan kesadaran pendidikan bagi anak-anaknya.

“Saya membayangkan leluhur anda semua tahun 901 sudah menulis. Jika masyarakat Boyolali ada yang tidak pintar maka yang tidak pintar itulah yang salah. Oleh karena itu, bagi bapak ibu yang memiliki anak, tolong ikuti leluhur anda semua. Setelah pulang dari sini, jangan ragu menyekolahkan anak-anak anda setinggi-tingginya. Nilai Literasi di Boyolali harus tertinggi se-Jawa Tengah,” pesan dia.

Restu berharap acara tersebut tidak hanya dilaksanakan sekali, namun berkelanjutan. Ke depan harus lebih baik, kompak, praktis namun memberi kenangan indah atau memorable. Kekayaan alam, makanan, dan budaya yang dipadukan menjadi satu dalam Ruwat Rawat menjadi tugas bersama untuk Wonosegoro yang semakin maju.

Setelah acara di panggung utama selesai, dilanjutkan peninjauan lokasi prasasti untuk pengkondisian perawatannya. Setelah itu dilanjutkan pementasan seni rakyat yakni Rodat, Jangkrik Ngenthir, dan Campur Bawur di jalan atas dari lokasi prasasti. Masyarakat terlihat menyemut di area pementasan. Walaupun sempat gerimis, namun antusias mereka tidak luntur hingga pementasan selesai. (K. Setia Widodo)

Read Next