Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, BANDUNG—Universitas Padjadjaran dalam waktu dekat akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di 13 gedung di Kampus Jatinangor, sebagai bentuk dukungan penerapan energi baru terbarukan (EBT) di lingkungan kampus.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Unpad Hendarmawan mengatakan penggunaan listrik di area kampus tersebut saat ini pun beberapa di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
“Karena itu, pengembangan PLTS akan membantu mengurangi ketergantungan Unpad terhadap listrik yang dihasilkan dari bahan bakar fosil,” katanya seperti dikutip dari situs resmi Unpad, Rabu (15/12/2021).
Lebih lanjut Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Unpad tersebut menjelaskan bahwa di tingkat kelembagaan, pengembangan PLTS juga memiliki banyak manfaat. Efisiensi pendanaan hingga mewujudkan kampus hijau merupakan manfaat yang bisa diperoleh Unpad.
Selain itu, dari sisi tridarma, pengembangan PLTS berkontribusi dalam melahirkan riset-riset baru. Saat ini, sistem PLTS di Unpad dikembangkan berdasarkan hasil penelitian dan alih teknologi dari para dosen.
“Ke depan, kita bisa mengembangkan riset seputar PLTS secara berkelanjutan, sehingga harapannya ke depan ini akan menjadi energi mandiri dan berkelanjutan di Unpad,” paparnya.
Ketua Program Studi Teknik Elektro FMIPA Unpad yang juga peneliti pengembangan PLTS Mohammad Taufik mengatakan, berdasarkan hasil riset yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa kawasan kampus Jatinangor potensial untuk dibangun PLTS.
Pasalnya, paparan radiasi yang dipancarkan matahari bisa diserap panel surya mencapai sebesar 70 persen—75 persen. “Ini berpengaruh pada kapasitas maksimal listrik yang bisa dibangkitkan panel surya,” ujarnya.
Untuk tahap awal, PLTS akan dipasang di atap gedung Rektorat, gedung Lab Sentral, serta beberapa gedung baru yang dibangun dari dana IDB. Taufik menjelaskan, kontruksi gedung baru memungkinkan penyerapan sinar matahari lebih maksimal.
Lebih lanjut Taufik memaparkan, PLTS nantinya akan menggantikan listrik konvensional pada periode jam kerja. Konversi energi listrik bisa dimulai dari pukul setengah 7 pagi dan otomatis berganti dengan listrik konvensial ketika jam kerja telah selesai. “Jadi selama durasi jam kerja, gedung-gedung tersebut akan di-support panel surya. Malam hari kembali di-support PLN,” kata Taufik.
Ada beberapa kekhasan dari sistem PLTS yang akan dipasang. Sistem ini tidak akan menggunakan baterai. Artinya, energi listrik yang dikonversi tidak akan disimpan. Kendati demikian, sistem telah dirancang dengan dilengkapi kecerdasan buatan (AI).
Teknologi AI akan berperan sebagai pengalih daya otomatis ketika malam hari ataupun saat terjadi anomali cuaca yang menyebabkan panel surya tidak maksimal menyerap radiasi matahari.
“Sistem ini akan men-switch listrik gedung yang kondisinya tidak mencukupi untuk disuplai panel surya. Kita pastikan kerja tidak akan terganggu akibat fluktuasi kecerahan matahari,” terangnya.
Kekhasan lainnya adalah sistem ini akan dilengkapi dengan IoT yang mampu mengontrol beban-beban listrik yang menyala tetapi tidak fungsional. Aplikasi ini akan mampu mengoptimalisasi penggunaan listrik dalam gedung pada siang hari.
Selain itu, kata Taufik, sistem ini akan menggunakan konfigurasi on grid. Artinya, ketika panel surya mendapatkan listrik yang lebih dari cukup untuk penggunaan di jam kerja. Sisa listrik yang tidak terpakai akan otomatis dikompensasikan ke jaringan PLN. Hal ini dapat menjadi faktor pengurang terhadap beban listrik yang dipakai Unpad per bulannya.
“Misalkan, pemakaian listrik di malam hari kita sebesar 100 kWh, listrik dari panel surya masuk ke PLN sebesar 75 kWh, maka beban listrik yang dibayar Unpad hanya sebesar 25 kWh,” kata Taufik.
Pengembangan PLTS di Unpad juga akan mendorong dilakukannya riset-riset baru, terutama seputar penyempurnaan sistem yang dipasang, hingga pengembangan aplikasi IoT yang lebih komprehensif.