Agar Bahasa Indonesia Layak Jadi Bahasa ASEAN, Dosen UMM Usulkan Kajian Sociopolitica Linguistic

08 Mei, 2022 20:22 WIB

Penulis:Fathul Muin

Editor:Ida Gautama

08052022-UMM Bhs Indonesia jadi Bhs Asean.jpg
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Faizin. (EDUWARA/Istimewa)

Eduwara.com, MALANG — Supaya Bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa kedua ASEAN maka hal yang perlu dilakukan adalah membuat kajian baru yang terkait dengan sosiologi, politik dan linguistic, atau disebut juga dengan sociopolitica linguistic, yang membahas secara komprehensif mengenai strategi penyebaran aspek bahasa. 

Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Faizin, mengatakan jika dilihat dari perspektif linguistik maka setiap negara berhak untuk mengajukan dan mengusulkan fungsi bahasa negaranya menjadi bahasa internasional, tidak terkecuali Indonesia maupun Malaysia

"Masyarakat tidak perlu kebakaran jenggot namun harus lebih introspeksi diri. Usaha apa saja yang sudah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam memperlakukan Bahasa Indonesia," ujar Faizin, Sabtu (7/5/2022).

Menurut Faizin, Bahasa Indonesia sebagai upaya peningkatan ke bahasa internasional, sebenarnya telah diatur di Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Untuk mewujudkannya, memang butuh kerja keras, strategi, kerjasama, dan kolaborasi antarkementerian.

Pria kelahiran Sumenep ini juga menilai, Malaysia pasti memiliki keseriusan dan strategi jitu saat menginginkan sesuatu. Terkait isu bahasa ini, mereka telah mengadakan lomba antarbahasa yang memperebutkan piala Perdana Menteri, yang pesertanya bukan hanya dari Malaysia saja, tapi juga seluruh penutur bahasa melayu di seluruh dunia. 

Gelaran tersebut disiarkan oleh televisi nasional bahkan internasional. Banyak dari alumni yang pernah belajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) malah ikut serta dan meramaikan ajang tersebut. 

Strategi

Meski begitu, Faizin merasa Indonesia juga memiliki potensi untuk bisa menjadi bahasa resmi kedua ASEAN. Ada beberapa strategi dalam mempercepat proses internasionalisasi Bahasa Indonesia, salah satunya membuat kajian baru yang membahas terkait sosiologi, politik dan linguistik atau disebut juga dengan sociopolitica linguistic, yang membahas secara komprehensif mengenai strategi penyebaran aspek bahasa. 

"Jarang sekali ada orang bahasa membicarakan politik. Padahal yang ingin mereka capai menjadikan bahasa internasional. Banyak pihak yang tentunya memiliki peran strategis seperti Hubungan Internasional, Kementerian Pendidikan, Balai Bahasa, dan lainnya," ujarnya.

Selain itu, kata Faizin, perlu ada langkah serius dari pemerintah dalam menanggapi isu tersebut. Indonesia sudah unggul segalanya, satu di antaranya ialah sejarah ejaan Indonesia yang cukup kuat, mulai dari  Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, Ejaan Baru Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK), Ejaan yang Disempurnakan (EYD), hingga Ejaan Bahasa Indonesia.

Faizin menilai pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait isu tersebut. Political will dan aspek kebahasaan adalah dua di antaranya. Begitupun dengan tata bahasa yang harus senantiasa dievaluasi. Problematika bahasa serta pengayaan kosakata juga perlu dimutakhirkan.

"Dengan begitu, klaim kita untuk melakukan internasionalisasi Bahasa Indonesia bisa lebih mudah ketika semua pekerjaan rumah tersebut sudah dijalankan dengan baik. Maka peran setiap pemangku kepentingan harus jelas. Begitupun dengan peningkatan kecintaan akan bahasa kita," ucapnya.

Seperti diketahui, awal April lalu, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri mengusulkan Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi kedua di Association of Southeast Asian (ASEAN). 

Menanggapi isu tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim juga turut mendukung Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di ASEAN. Bahkan juga mengampanyekannya di media sosial Kemendikbudristek dengan melakukan Aksi Bela Bahasa.