Kampus
12 November, 2025 07:00 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama

Eduwara.com, JOGJA - Perkembangan pesat Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan saat ini menimbulkan kekhawatiran serius di berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan. Pada satu sisi menawarkan kemudahan luar biasa, tapi di sisi lain AI dinilai berpotensi menggerus literasi dan kemampuan berpikir kritis, sehingga memunculkan pertanyaan mendasar: akankah AI menjadi kawan kolaboratif atau penjajah pemikiran kritis?
Para ahli menilai AI tingkat lanjut berpotensi menimbulkan konsekuensi bencana bagi manusia jika tidak dikelola dengan bijak. Situasi ini mendorong akademisi untuk merefleksikan kembali peran teknologi dalam ekosistem pendidikan.
Dosen Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Asma Karim, memandang kehadiran AI dalam pendidikan bukan lagi perang melawan penjajahan fisik, melainkan perjuangan menghadapi hegemoni teknologi dengan internet sebagai senjatanya.
“AI ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan umat manusia, tetapi di sisi lain membawa berbagai risiko negatif di berbagai bidang, termasuk dunia akademik,” papar Karim, Selasa (11/11/2025).
Dalam konteks pendidikan tinggi, tantangan AI terlihat dari dua aspek utama. Pertama, digitalisasi layanan akademik yang menghadirkan kemudahan administrasi hingga pembelajaran. Namun, kemudahan ini turut membawa dampak negatif berupa menurunnya minat literasi dan melemahnya kemampuan berpikir kritis akibat budaya serba instan yang dibentuk oleh AI.
Kedua, AI dan penurunan integritas akademik. Kemudahan akses informasi tanpa batas sering mengaburkan nilai tanggung jawab dan kejujuran ilmiah, memicu maraknya fenomena copy-paste dan plagiarisme manipulatif.
“Kehadiran AI tidak seharusnya melemahkan, mengaburkan, atau melunturkan nilai-nilai kepahlawanan dalam dunia pendidikan,” tegasnya.
Karim juga menekankan agar AI ditempatkan sebagai tools pendukung pembelajaran yang berlandaskan etika dan kejujuran ilmiah, bukan sebagai jalan pintas.
Kolaboratif
Kekhawatiran serupa disampaikan Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Siti Murtiningsih. Ia menyoroti perkembangan AI yang tak terbendung dan dianggap wajar oleh banyak orang, padahal teknologi tersebut adalah cerminan dari potensi tersembunyi manusia itu sendiri.
Untuk mengantisipasi ancaman AI, Siti menyarankan peningkatan pemahaman soal cara kerja teknologi, mitigasi risiko, dan penyiapan regulasi yang memadai. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan adalah media paling efektif untuk memberikan fondasi etis dan moral dalam menciptakan serta mengembangkan teknologi.
Siti juga menekankan pentingnya tumbuh kembang manusia secara organik, bukan manusia yang jiwa raganya terpapar penuh oleh teknologi sejak dini. Ia mengingatkan bahwa AI memiliki keterbatasan, berbeda dengan akal manusia yang tidak terbatas.
“Kita ini adalah manusia yang akalnya tidak terbatas. Sementara, teknologi AI ini pikirannya hanya dari hari ini dan kemarin atau sesuai dengan yang kita masukkan,” terangnya.
Mengatasi rasa khawatir, Siti mengajak untuk berpikir kreatif dan menempatkan AI sebagai mitra kawan kolaboratif.
Selalu bijaklah hidup di tengah teknologi AI dan bermitralah dengan sehat sebagai pengguna ataupun pembuat,” pungkasnya.
Bagikan