Begini Besarnya Potensi Pewarna Alami Indonesia Menurut Akademisi UGM

11 Mei, 2022 14:57 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Bunga NurSY

15947--730x420px.jpg
Guru besar bidang Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Edia Rahayuningsih (UGM)

Eduwara.com, JOGJA – Kekayaan bahan dan pewarna alami Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal kendati memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi.

Guru besar bidang Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Edia Rahayuningsih mengatakan kekayaan Indonesia akan bahan dan pewarna alami belum bisa termanfaatkan optimal. 

"Indonesia memiliki potensi, prospek, dan peluang pewarna alami yang sangat besar. Namun, pada kenyataanya kondisi yang ada kontras dengan produksi dan aplikasi pewarna alami di Indonesia," kata Edia saat pengukuhan dirinya sebagai guru besar pada Selasa (10/5/2022).

Membawakan kajian ilmiah berjudul Menghidupkan Kembali (Revival) Pewarna Alami Nusantara Untuk Membangun Kedaulatan Bangsa Dalam Pewarna Alami, Edia menyoroti keterbatasan hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial dan teraplikasikan dalam masyarakat Indonesia.

"Apabila mendengar kata pewarna alami biasanya yang muncul dalam benak kita berkaitan dengan tradisional, sederhana, kecil, berkualitas rendah, tidak praktis, sulit diperoleh, dan sebagainya," jelasnya.

Hal itu, tambahnya, menyebabkan sampai saat ini pemanfaatan pewarna alami masih sangat terbatas di pengrajin batik, jumputan, ulos, tenun, dan kerajinan lainnya.

Edia yang menjabat sebagai Ketua Indonesia Natural Dye Institute (INDI) UGM ini melanjutkan, kecilnya pemanfaatan bahan alami mengakibatkan pemenuhan kebutuhan zat warna industri tekstil Indonesia mengandalkan impor.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 mencatat, rerata impor zat warna sintetik selama 5 tahun terakhir mencapai lebih dari 42.000 ton/tahun.

Padahal Indonesia memiliki budaya warisan adiluhung penggunaan pewarna alami yang aman dan senyawa yang terkandung bermanfaat bagi tubuh. 

Selain itu Indonesia memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang merupakan bahan baku pembuat zat warna alami, sehingga Indonesia pernah sebagai penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia pada saat penjajahan Belanda dari tahun 1602 sampai 1942.

"Saat ini, kurang lebih ada 150 jenis pewarna alami di Indonesia yang telah diidentifikasi. Ini menandakan sumber bahan baku pewarna alami di Indonesia luar biasa melimpah," katanya.

Berdasarkan data Researchandmarket.com (2019), pasar pewarna alami global diperkirakan bernilai sekitar US$5 miliar pada 2024 dan tumbuh rata-rata per tahun sekitar 11 persen selama 2018—2024.

Tingginya peminat pewrana alami karena keunggulannya antara lain aman, renewable dan biodegradable. Selain itu prospek penggunaan kembali ke pewarna alami di ranah global sesuai dengan beberapa semboyan yang ada.

"Beberapa diantaranya seperti go back to nature, slow fashion, go green, eco green, dan sebagainya," jelasnya.

Edia mengatakan agar produk pewarna alami Indonesia bisa menjangkau pasar global diperlukan kerjasama mutualistik dari berbagai pihak, yaitu akademisi, komunitas wirausaha, pengusaha, dan pemerintah.

"Selain empat elemen tersebut, pada saat ini keberadaan media juga sangat berperan dalam usaha hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial," tutupnya.