Gamahumat, Inovasi UGM untuk Pembenah Tanah dari Batubara

01 November, 2024 06:30 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

31102024-UGM gamahumat.jpeg
Produk Gamahumat, sebagai pembenah tanah atau soil stabilizer, tengah diujicobakan di kawasan persawahan Bimomartani, Sleman. Menggunakan 15 persen Gamahumat, pemakaian NPK-urea menjadi 15-20 persen dari takaran normal. Hasil panen dapat mendekati layaknya produktivitas padi yang sepenuhnya menggunakan NPK dan urea. (EDUWARA/Dok. UGM)

Eduwara.com, JOGJA -  Tim peneliti Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil melakukan inovasi batubara kalori rendah menjadi pembenah tanah atau soil stabilizer. Dinamakan Gamahumat, produk ini adalah senyawa humat berupa asam humat dan asam fulvat yang berasal dari ekstraksi batubara dengan kalori rendah.

Ketua tim peneliti, Ferian Anggara, mengatakan Gamahumat merupakan inovasi yang dihasilkan dari batubara kalori rendah yang tidak dapat digunakan sebagai feed coal di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Kami mendasari pengembangan produk pembenah tanah karena ingin memberikan produk sebagai pendamping pupuk, sehingga proporsi penggunaan pupuk dapat dikurangi,” terang Ferian Anggara dilansir Kamis (31/10/2024).

Dengan sumber batubara kalori rendah mencapai 30 persen di Indonesia, menurut Ferian, jaminan akan ketersediaan bahan baku terpenuhi. Terlebih tim menggandeng PT Bukit Asam yang memiliki batubara peringkat rendah dan teruji sesuai untuk memproduksi Gamahumat.

Ferian mengaku dirinya tengah melakukan Gamahumat ke level pilot project. Tahun ini, rencananya, pihaknya akan melakukan fabrikasi alat di Yogyakarta. Kemudian, pada 2025 akan dioperasikan di Peranap, Riau, tepatnya di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Bukit Asam yang mempunyai cadangan batubara mencapai 600 juta ton. 

Nantinya, lanjut Ferian, pabrik ini akan berskala komersial dengan kemampuan produksi mencapai 60 ton senyawa humat per tahun.

”Obsesi kami sebagai peneliti adalah bagaimana kami bisa mengoptimalkan pemanfaatan limbah hasil pertambangan sehingga memiliki nilai tambah tinggi dengan konsep ekonomi sirkular,” tuturnya.

Saat ini, produk Gamahumat tengah diujicobakan di kawasan persawahan Bimomartani, Sleman, di mana sebelumnya petani menggunakan 15 persen NPK dan urea dari jumlah yang seharusnya. Ia menyebutkan, menggunakan prosentase 15 persen Gamahumat, pemakaian NPK-urea menjadi 15-20 persen dari takaran normal.

“Hasil panen dapat mendekati layaknya produktivitas padi yang sepenuhnya menggunakan NPK dan urea,” katanya.

Melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Tinggi (LPDP), pemerintah memberikan pendanaan dalam penelitian Gamahumat hingga 2026. Selain Gamahumat, dukungan ini dialokasikan untuk pengembangan inovasi yang dikolaborasikan, yakni produk nanosilika berukuran kurang dari 10 mikron yang dibutuhkan tanaman dengan keunggulan mudah untuk diserap.

“Penggabungan produk ini menyasar pada lahan yang kekurangan unsur hara agar dapat ditanami dan ditingkatkan produktivitasnya,” terangnya.