Lewat School Leadership Camp, Kepala Sekolah Didorong Berani Berubah

08 Oktober, 2024 18:15 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

08102024-School leadership camp.jpg
Melalui School Leadership Camp (SLC) Batch 4 Tahap ke-2, sebanyak 28 kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dari delapan yayasan Katolik di enam keuskupan diajak berani melakukan perubahan agar sekolah tidak mengalami ‘paceklik’ murid baru. (EDUWARA/Dok. School Leadership Camp)

Eduwara.com, JOGJA – Selama dua hari, Sabtu-Minggu (5-6/10/2024), sebanyak 28 kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dari delapan yayasan Katolik di enam keuskupan diajak berani melakukan perubahan. Melalui School Leadership Camp (SLC) Batch 4 Tahap ke-2, ditegaskan bahwa perubahan harus dilakukan agar sekolah tidak mengalami ‘paceklik’ murid baru.

Berlangsung di Semarang, SLC Batch 4 Tahap ke-2 merupakan acara hasil kerja sama Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia, Yayasan Insan Sekolah Kasih, Soegijapranata Catholic University (SCU), dan Komisi Pendidikan Kevikepan Semarang.

Hadir sebagai pembicara, yaitu Rektor Soegijapranata Catholic University (SCU) Ferdinand Hindiarto, serta tiga pembicara dari Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia, yaitu Ignaz Kingkin, HJ Sriyanto, dan AA Kunto A.

Pada awal paparannya, Rektor SCU Ferdinand Hindiarto menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan diukur dari keberanian melakukan perubahan. Tidak terlalu hal-hal besar yang diubah, seperti perubahan pola pikir.

“Terlalu berat. Saya mulai dari perubahan-perubahan kecil, dimulai dari sesuatu yang tampak: yaitu identitas. Sebagai rektor, yang lebih-kurang sepadan dengan peran kepala sekolah, memimpin perubahan di lembaganya,” ujar Ferdinand dalam rilis Selasa (8/10/2024).

Kepada kepala sekolah yang datang dari Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bogor, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Agung Palembang, Keuskupan Banjarmasin, dan Keuskupan Agung Semarang, Ferdinand mengingatkan, dunia sudah berubah. Kalau pendidikan tidak berubah pasti punah.

“Banyak kepala sekolah bekerja sekadarnya. Paling banter, mereka merujuk pada cara kepala sekolah sebelumnya. Atau, mengintip cara kerja kepala sekolah lain. Selain yang dicontoh belum tentu benar, model kerja seperti itu tidak membawa sekolah lebih maju,” tegasnya.

Akibatnya, lanjut Ferdinand, sekolah mengalami ‘paceklik’ murid baru. Dari tahun ke tahun, pendaftar menurun. Jika pun tidak, sekolah-sekolah Katolik kerap dikeluhkan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Cara mengajarnya kuno, fasilitas pembelajarannya lawas, dan kesejahteraan guru tidak menarik bagi orang muda berkarir di pendidikan.

Langkah Perubahan

Dari pengalamannya, Ferdinand menegaskan ada empat langkah melakukan perubahan, yaitu fisik, infrastruktur, perilaku, hingga budaya. Pertama, dimulai dari yang kecil dan tampak indrawi, seperti mengubah logi atau ruang kelas dengan gaya kekinian.

Perubahan berikutnya tak kasat mata lewat apa yang disebut “cura personalis”. Cara dosen mengajar, membimbing, dan menyapa mahasiswa diubah. Ia banyak merekrut dosen muda untuk mempersempit jarak generasi.

“Ketika perubahan kecil ini diterima, saya yakin perubahan berikutnya akan diterima juga,” tegasnya.

Setelah itu, lanjut Ferdinand, tahapan-tahapan perubahan berikutnya disesuaikan dengan regulasi pemerintah yang kerap berganti, kompetisi antar lembaga yang kian sengit, dan perubahan perilaku masyarakat yang kian menuntut.

Pada bagian lain, Ignaz Kingkin dari Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia menerangkan School LeadershipCamp dihadirkan untuk memecah kebekuan dan melahirkan kepala sekolah yang tidak saja kompeten namun juga tepercaya mengusung gerbong perubahan di lembaga yang dipimpinnya.

“Materi-materi yang dibawakan dalam SLC memang berangkat dari kebutuhan peserta. Kebanyakan kepala sekolah yang menjabat tidak memahami tugasnya. Bukan karena mereka bodoh atau malas; selain pintar, kepala sekolah umumnya adalah guru berprestasi dan baik,” tutupnya.