EduBocil
30 September, 2022 00:26 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Kantor Penelitian United Nations Children's Fund (UNICEF), ECPAT Indonesia, dan INTERPOL meluncurkan laporan hasil penelitian Disrupting Harm, Kamis (29/9/2022) secara daring.
Penelitian tersebut memberikan gambaran terkait situasi eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan jika ingin mencapai bangsa yang tangguh, sejahtera, dan maju sebagaimana yang dicita-citakan bersama, maka semua harus berupaya sekuat tenaga agar anak-anak Indonesia terpenuhi hak dan perlindungannya, kapan pun dan dimana pun.
"Salah satu hal yang menjadi tantangan besar saat ini adalah memberikan perlindungan kepada anak-anak kita di dunia maya atau ranah daring,” ujar Nahar seperti dilansir Eduwara.com, Kamis (29/9/2022) dari laman KemenPPPA.
Nahar menambahkan, pandemi Covid-19 turut menyumbang sejumlah konsekuensi yang tidak terduga, salah satunya menciptakan perubahan bentuk eksploitasi seksual anak secara daring.
“Risiko grooming, penyebaran konten pornografi anak, ajakan sexting, bahkan kasus live streaming sexual abuse terjadi pada anak-anak kita,” tambah dia.
Lima Kunci
Terkait hal ini, terdapat lima temuan kunci dalam penelitian disrupting harm di Indonesia. Pertama, dalam 1 tahun terakhir, 2 persen anak-anak pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran bentuk nyata eksploitasi dan pelecehan seksual daring.
Kedua, pelaku Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) paling sering adalah orang yang dikenal oleh anak korban. Ketiga, anak yang menjadi sasaran OCSEA cenderung menceritakan kepada jaringan interpersonalnya, dibandingkan saluran bantuan dan kepolisian;
Keempat, upaya Pemerintah Indonesia dalam mengatasi OCSEA perlu ditingkatkan. Kelima, tindakan legislatif lebih lanjut diperlukan untuk mengkriminalisasi semua tindakan OCSEA.
“Besar harapan kami, hasil penelitian ini memberikan penguatan kepada pemerintah Indonesia, khususnya KemenPPPA dan kementerian atau lembaga terkait lainnya untuk memberikan perhatian yang besar terhadap isu ini serta mengupayakan lahirnya kebijakan tentang pelaksanaan Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring,” tutur Nahar.
Sementara itu, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian mengatakan, penelitian disrupting harm di Indonesia sudah dimulai sejak 2019.
“Kami tentu sudah memiliki beberapa temuan dari penelitian ini dan terdapat aspek yang perlu segera direspon. Terdapat rekomendasi konkret yang ditujukan kepada pemerintah, penyelenggara sistem elektronik, organisasi yang memiliki relasi secara langsung dengan keterkaitan atau keterhubungan antara anak dengan dunia platform,” ujar Ahmad.
Dalam kesempatan yang sama, Spesialis Perlindungan Anak UNICEF, Ali Aulia Ramly menyebutkan, laporan hasil penelitian disrupting harm telah beberapa kali didiseminasikan.
“Kami berkesempatan mengkonsultasikan draft dan rekomendasi awalnya dalam pertemuan Konsultasi Nasional pada April 2022. Pertemuan itu juga memberikan kesempatan kepada kami untuk mempertajam beberapa rekomendasi serta memberikan beberapa revisi dan masukan. Kami juga sudah menyampaikan hasilnya pada beberapa forum,” jelas Ali.
Lebih lanjut, Ali menegaskan, hasil penelitian terkait disrupting harm tidak hanya disimpan, tetapi dimanfaatkan sebagai dasar yang memengaruhi kebijakan di Indonesia.
“Hasil studi disrupting harm bahkan prosesnya menunjukkan contoh yang sangat bagus terkait evidence-based policy. Temuan ini selain sudah dibahas dalam konsultasi nasional, kami juga sudah memasukan hasil maupun rekomendasinya ke dalam draft Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring,” pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)
Bagikan