EduBocil
08 Maret, 2022 11:54 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, JAKARTA – Penggunaan bahasa ibu secara lisan maupun tulisan pada pembelajaran Sekolah Dasar (SD) kelas awal perlu digunakan untuk membangun pondasi literasi dan penanaman konsep.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo dalam webinar Temu Inovasi NTT #2: Pemanfaatan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran Bagi Siswa Penutur Bahasa Tunggal, Selasa (8/3/2022).
Webinar tersebut diselenggarakan oleh Inovasi Pendidikan yang bekerjasama dengan Kantor Bahasa Provinsi NTT dan Kemendikburistek dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional.
Menurut Andindito, penggunaan Bahasa ibu pada fase awal jenjang SD juga menjadi jembatan peralihan untuk mempelajari bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan, sehingga anak-anak menguasai kedua bahasa itu dengan sama baiknya.
Metode pembelajaran, sambung Anindito, bisa dimulai dari mengasah keterampilan lisan dari bahasa ibu terlebih dahulu. “Jadi menggunakan aktivitas yang menyenangkan seperti observasi, mendengarkan, menyimak, bernyanyi, bermain drama, mengurutkan peristiwa, serta menuturkan kembali cerita yang anak-anak dengarkan,” kata dia.
Anindito menyarankan penggunaan bahasa ibu juga digunakan untuk menumbuhkan kesadaran fonetik, seperti menghubungkan bunyi bahasa dengan simbol huruf. Penumbuhan kesadaran itu sebaiknya ditujukan bagi anak-anak yang belum menguasai bahasa Indonesia.
Menurut dia, jika anak-anak dipaksa untuk mengembangkan kesadaran fonetik dalam bahasa Indonesia, mereka diibaratkan harus belajar membaca dalam bahasa asing atau bahasa yang belum mereka kenal. Namun, jika sudah tumbuh kesadaran fonetik dalam bahasa daerah maka jauh lebih mudah untuk mentransfer keterampilan itu dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Diusulkan UNESCO
Sementara itu, Direktur Seameo Qitep In Language (SEAQIL) Luh Anik Mayani mengatakan UNESCO mengusulkan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan baik secara bilingual ataupun multilingual pada masa awal sekolah.
“Ada beberapa alasan UNESCO mengusulkan hal ini. Pertama, penggunaan bahasa ibu merupakan fondai solid untuk pembelajaran. Kedua, meningkatkan akses anak-anak khususnya perempuan ke dunia pendidikan. Ketiga, penggunaan bahasa ibu akan meningkatkan literasi anak baik dalam bahasa ibu maupun bahasa kedua,” jelas Luh Anik.
SEAMEO Regional Centre for Quality Improvement of Teachers and Education Personnel (QITEP) in Language (SEAQIL) merupakan sebuah pusat regional yang didirikan oleh Southeast Asia Ministers of Education (SEAMEO) pada 13 Juli 2009.
Selain itu, tambah Luh Anik, penggunaan bahasa ibu membuat anak-anak lebih berkonsentrasi memahami pembelajaran. Hal itu juga membuat komunikasi dan pemahaman yang lebih baik dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Lebih lanjut, Luh Anik melansir hasil Survei Analisis Kebutuhan yang dilaksanakan oleh SEAQIL di Kabupaten Bandung dan Garut (Jawa Barat) dan Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul (Yogyakarta) tahun 2013.
Hasil survey di Jogja, 61 persen guru menyatakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar membuat siswa sulit memahami materi. Hal itu disebabkan keterbatasan penguasaan kosakta siswa dalam bahasa Indonesia.
“Oleh karena itu, guru berpendapat bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas awal justru lebih mudah dipahami dan memperjelas materi yang disampaikan. Sehingga pelajaran mudah diterima, bahkan bahasa daerah dapat memberi motivasi untuk bertanya,”
Hal tersebut juga mirip dengan data yang di Jawa Barat. 80 persen guru berpendapat siswa lebih mudah memahami yang disampaikan melalu bahasa daerah. Alasannya pun kurang lebih sama yakni penguasaan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas. (K. Setia Widodo)
Bagikan