Sosiolog UNS Solo Sebut Latto-Latto Dapat Rekatkan Hubungan Sosial

12 Januari, 2023 23:47 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:Ida Gautama

12012023-UNS Sosiolog Drajat Tri Kartono.jpg
Sosiolog UNS Solo, Drajat Tri Kartono. (EDUWARA/Dok. Humas UNS)

Eduwara.com, SOLO – Tren permainan latto-latto telah menjamur di berbagai kalangan masyarakat dari berbagai usia. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa hingga tokoh publik ikut memainkan permainan itu.

Latto-latto atau yang dikenal di wilayah Jawa Tengah sebagai ‘etek-etek’ merupakan permainan yang dimainkan dengan cara membenturkan dua bola dari plastik polimer yang diikat menggunakan tali. Permainan tersebut dinamai ‘etek-etek’ karena apabila dua bola plastik tersebut saling berbenturan akan menimbulkan bunyi ‘etek-etek’.

Latto-latto yang dimainkan secara langsung membuat ada interaksi sosial satu sama lain. Sosiolog UNS, Drajat Tri Kartono mengatakan munculnya kembali permainan ini memiliki fungsi perekat hubungan sosial.

“Sejak saya kecil sudah ada permainan ini, kalau dalam sosiologi dinamakan reproduksi sosial. Sebelum masuknya dunia digital, hampir semua permainan seperti latto-latto, gobag sodor, petak umpet, dan semacamnya memerlukan beberapa orang karena tidak bisa bermain sendiri. Nah, hal ini yang memunculkan interaksi sosial sehingga dapat merekatkan kembali hubungan sosial dari seseorang dengan orang lain,” kata Drajat Tri Kartono seperti dilansir Eduwara.com, Kamis (12/1/2023), dari laman UNS Solo.

Menariknya dari latto-latto adalah dimainkan oleh anak-anak yang lahir dan besar di zaman digital. Meskipun anak-anak zaman sekarang sudah lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi, tetapi tren permainan latto-latto tetap digandrungi.

“Latto-latto ini memberikan kekuatan yang sama seperti zaman dulu saat belum ada permainan-permainan digital, yaitu sebagai perekat hubungan sosial. Selain itu juga berfungsi untuk meningkatkan vitalitas sosial dan daya hidup karena memerlukan interaksi satu sama lain. Hebatnya, latto-latto ini muncul dan hadir kembali secara viral tapi tidak dalam basis digital,” tutur dia.

Sosiolog UNS tersebut juga menambahkan bahwa permainan tersebut memunculkan memori masa lalu dari para orang tua yang masa kecilnya tidak asing dengan permainan-permainan zaman dulu. Hal itu menyulut habitualisasi terhadap permainan latto-latto sehingga lebih mudah untuk menghidupkannya.

“Tidak hanya anak-anak, tapi orang tua juga ikut bermain karena ini ada kaitannya dengan memori permainan zaman dulu yang memiliki ciri-ciri kolektivitas dan solidaritas tinggi. Setiap bermain pasti harus berkumpul dengan yang lain dulu sehingga membangun ikatan solidaritas pertemuan dan moral atau kebersamaan. Ini beberapa nilai sosial yang bisa diambil dari munculnya kembali latto-latto ini,” imbuh dia.

Menjauhkan Anak dari Gadget

Permainan latto-latto akan lebih asyik jika dimainkan bersama-sama. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk menjauhkan anak-anak dari gadget, terlebih anak-anak yang lahir dan besar di tengah pesatnya perkembangan teknologi secara tidak langsung akan mengenal teknologi (gadget) sejak kecil.

“Meskipun saat ini banyak permainan di gadget, tapi latto-latto bisa muncul kembali sebagai permainan yang dimainkan secara kolektif dan langsung. Tentu, latto-latto dapat berperan dalam mengurangi intensitas penggunaan gadget pada anak-anak,” kata dia.

Lebih lanjut, pesatnya media sosial juga turut berpengaruh terhadap viralnya latto-latto. Melalui media sosial, segala hal dapat tersebar luas dengan cepat tanpa mengenal waktu. Hal tersebut menyulut masyarakat masuk dalam Bandwagon Effect, yaitu jika ada seseorang yang tidak mengikuti tren atau suatu kegiatan, orang tersebut besar kemungkinan akan mendapat sanksi sosial seperti dikucilkan atau dianggap aneh oleh orang sekitar.

“Banyak yang bermain latto-latto kemudian di-share ke media sosial, ini dapat menimbulkan bandwagon effect. Orang-orang dengan cepat akan ikut-ikutan sesuatu yang menjadi perhatian banyak orang, kalau tidak ikut maka seperti orang yang ketinggalan zaman. Oleh karena itu harus ikut agar saat diajak ngobrol dan semacamnya tentang hal tersebut bisa nyambung,” jelas dia.

Viralnya permainan itu juga memunculkan kepentingan-kepentingan lain, seperti kepentingan politik. Tidak sedikit tokoh politik ataupun tokoh masyarakat yang ikut bermain karena dapat memancing media untuk meliput sehingga akan berdampak pada reputasi, efek politik, lebih dikenal banyak orang, dan sebagainya.

“Latto-latto juga bisa menjadi simbol bahwa pemimpin itu merakyat, tidak kaku dengan permainan zaman lama. Ini menarik untuk disajikan di media sosial,” tambah dia.

Adanya latto-latto, sambung Drajat, tentu membuka peluang usaha bagi masyarakat, terutama Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) untuk memproduksi latto-latto. Sebelum sampai ke tangan masyarakat, tentu banyak proses yang dilalui, baik dari pemilik UMKM, pekerja, hingga penjual latto-latto yang sering dijumpai di jalanan. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Selain itu, tren permainan latto-latto yang cenderung masuk sebagai permainan lama membuat peluang bagi permainan-permainan lama muncul kembali. Terlebih, dengan adanya media sosial dapat membantu penyebaran hal tersebut.

“Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana reproduksi sosial bisa terjadi dan memori permainan lama bisa hidup kembali. Dugaan saya saat latto-latto muncul kembali, tidak akan bertahan lama karena ini permainan orang zaman dulu. Ternyata anak-anak dan remaja banyak yang suka. Bisa diprediksi bahwa di masa depan, permainan-permainan lama bisa hidup kembali,” kata Drajat.

Selain dampak positif berupa perekat hubungan sosial, menjauhkan anak-anak dari gadget, dan meningkatkan perekonomian, latto-latto juga memiliki dampak negatif, yaitu polusi suara.

“Kebisingan latto-latto itu tinggi, apalagi bagi anak-anak semakin kencang suaranya malah semakin asyik. Hal ini bisa mengganggu orang lain di sekitar jika dimainkan tanpa mengenal tempat dan waktu. Apalagi kalau sampai dibawa ke sekolah, bisa mengganggu. Bermain latto-latto tidak masalah asal mengenal waktu dan tempat,” pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)