Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Dalam dialog kebangsaan antar umat beragama yang diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menekankan pentingnya 'Salam Pancasila' sebagai salam kebangsaan.
Bertemakan 'Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebhinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia', dialog yang diselenggarakan di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Rabu (30/3/2022) mengundang berbagai organisasi lintas beragama.
Selain dari PBNU dan PP Muhammadiyah, organisasi masyarakat yang turut hadir yaitu PGI, KWI, PHDI, Matakin, Prambudhi, Al Washliyah, Al Khairaat, Persis, MUI, FKUB, dan organisasi masyarakat lainnya.
Yudian memaparkan bahwa sosialisasi Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan menjadi tugas dan fungsi BPIP dalam membangun harmoni antar umat beragama di Indonesia. Sejarah dan latar belakang Salam Pancasila diadopsi dari salam merdeka Bung Karno yang dikumandangkan pada awal kemerdekaan.
"Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden pertama RI Soekarno pada 1945. Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan", kata Yudian saat memberi sambutan.
Karenanya, dicarilah salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan. Bung Karno mengusulkan salam merdeka yang bentuk gerakannya seperti salam Pancasila sekarang ini.
"Karena itu, oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP, salam merdeka Bung Karno diadopsi menjadi salam Pancasila," tambahnya.
Bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya adalah mengamalkan kelima sila Pancasila dan harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia. Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Pengertiannya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.
Legitimasi Kebangsaan
Yudian juga menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Baginya, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu. Tetapi, ada di kebersamaan dan persahabatan.
"Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya memakai bahasa hukum", tuturnya.
Dialog ini bisa menjadi wadah ide-ide dan pandangan dari para tokoh agama. Serta mampu mencetuskan deklarasi tentang ke-Indonesiaan, khususnya etika dalam bermedia-sosial. Dan, hasil deklarasi ini bisa disampaikan ke internal masing-masing organisasi kemasyarakatan.
Rektor UIN Suka Al Makin mengatakan, dialog kebangsaan ini didasarkan pada kajian UIN Suka selama bertahun-tahun tentang hubungan persahabatan antar umat beragama maupun internal beragama.
Dalam banyak kajian Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan Islam (PTKIN) mulai dari UIN Ar Raniry Aceh sampai IAIN Papua, ditemukan bahwa persahabatan di kalangan remaja, anak, dan para mahasiswa umumnya didasari kesamaan iman, kedaerahan, dan aliran.
"Jarang sekali persahabatan didasari lintas organisasi dan lintas iman," kata Al Makin.
Karena itu, ukuran moderasi beragama itu sederhana yaitu seberapa banyak teman kita yang tidak berbahasa sama, tidak berorganisasi sama, dan tidak sama cara beribadahnya.
"Masyarakat harus kembali ke akar ke-Indonesiaan. Di mana, akar jati diri keIndonesiaan itu memiliki empat hal yakni keadilan, moderasi, kebajikan, dan persahabatan. Ini yang dulu dilakukan oleh para Bapak Bangsa," katanya.