logo

Gagasan

Dari Diskusi Politik di UGM, Perludem Ingatkan Ancaman Polarisasi Lewat Medsos

23 Maret, 2023 22:35 WIB
Dari Diskusi Politik di UGM, Perludem Ingatkan Ancaman Polarisasi Lewat Medsos
Center for Digital Society (CfDS) UGM berkolaborasi dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggelar diskusi politik seputar Pemilu 2024, di kampus UGM, Senin (20/3/2023). Diskusi tersebut bertajuk Digital and Election Issues (DESUS). (EDUWARA/Dok. UGM)

Eduwara.com, JOGJA – Direktur Eksekutif Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengingatkan dengan tegas pelaksanaan Pemilu 2024 masih terancam hadirnya polarisasi seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Terlebih polarisasi melalui media sosial, akan menjadi tantangan terbesar Indonesia di Pemilu tahun depan," kata Khairunnisa saat menjadi narasumber dalam diskusi politik yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (20/3/2023).

Dalam rilis Kamis (23/3/2023), diskusi politik terkait Pemilu 2024 yang bertajuk Digital and Election Issues (DESUS) ini digelar Center for Digital Society (CfDS) UGM.

CfDS menyatakan diskusi ini digelar karena maraknya berbagai berita soal politik yang tetap menjadikan sebagian besar masyarakat belum paham esensi Pemilu dan bagaimana mencapai proses demokrasi yang ideal.

Merespons isu tersebut, CfDS berkolaborasi dengan Perludem, melalui serial perdana DESUS, perlu menyosialisasikan pemahaman mengenai Pemilu 2024 dengan berbagai pernak-perniknya kepada publik.

Pada paparan awalnya, Khoirunnisa mengatakan meski kerangka hukum Pemilu masih sama namun terdapat perbedaan mendasar adanya transformasi digital yang menjadikan teknologi rekapitulasi suara sebagai kebutuhan utama agar tidak terjadi pergeseran suara.

"Karena kita tahu rekapitulasi manual membutuhkan waktu 35 hari setelah Pemilu berlangsung. Soal transformasi digital ini telah menjadi perhatian KPU dengan tujuan agar terjadi transparansi kepada publik lewat Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH), dan sebagainya," ujar Khoirunnisa.

Pemilih Baru

Khoirunnisa melihat Pemilu 2024 akan diwarnai hadirnya pemilih baru yang erat dengan sosial media. Melalui platform inilah informasi-informasi mengenai Pemilu hingga kampanye akan didistribusikan.

Meski begitu, Khoirunnisa mengakui belum ada mitigasi risiko-risiko di media sosial. Risiko-risiko seperti disinformasi dan transparansi sehingga diperlukan penanganan serius utamanya terkait penangkalan disinformasi.

"Hadirnya platform media sosial sebagai sumber informasi terkait Pemilu tidak menutup kemungkinan munculnya kesimpangsiuran (disinformasi), hoax dan lain-lain. Polarisasi melalui media sosial dinilai akan menjadi tantangan terbesar Indonesia di era Pemilu," jelasnya.

Menurut Khoirunnisa, diperlukan solusi mengikat untuk mendorong adanya ekosistem digital yang demokratis, berupa literasi digital. Untuk meningkatkan literasi digital ini memerlukan sistematika pemberantasan konten terkait penyebaran informasi.

"Perlu juga forum diskusi yang mampu menggaet semua pihak terkait debunking dan pre-bunking, kolaborasi bersama masyarakat sipil dengan platform media sosial, menganalisis disinformasi di Pemilu 2024, dan sistem pelaporan hoax yang jelas," terangnya.

Khoirunnisa menambahkan hal terpenting dari Pemilu 2024 adalah partisipasi dari pemilih yang mampu secara cerdas memilih informasi saat kampanye berlangsung. Mereka harus memahami betul terkait narasi-narasi yang akan memecah belah dan menjatuhkan.

"Hal-hal semacam ini tentunya akan menjadi clue  utama dalam mengidentifikasi. Politik identitas menjadi mobilisasi politik untuk membangun sentimen emosional dikhawatirkan menjadikan pemilih muda sebagai komoditas politik akan terombang-ambing kepada kandidat tertentu. Kita harus cerdas bisa menganalisis hal semacam ini," paparnya.

Read Next