Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat dalam dua tahun terakhir, laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan sekolah-sekolah negeri lebih banyak dibandingkan laporan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Selama kurun waktu 2021-2022, laporan dugaan sekolah yang melanggar mencapai 51 laporan, sedangkan laporan mengenai pelanggaran OPD hanya 33 laporan.
Kepala ORI DIY Budhi Masthuri mengatakan pada 2021 pihaknya menerima sebanyak 21 laporan dan jumlah itu meningkat pada 2022 hingga Agustus kemarin dengan catatan 31 laporan.
"Total laporan masuk yang terbanyak adalah dugaan permintaan uang oleh sekolah yang dua tahun ini mencapai 18 laporan. Disusul tidak diberikannya hak anak didik karena belum melunasi biaya pendidikan sebanyak 7 laporan," kata Budhi, Senin (19/9/2022).
Di tempat ketiga, laporan mengenai penyimpangan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tercatat sebanyak enam laporan, kemudian penahanan ijazah tiga laporan dan dugaan pemaksaan atribut agama satu kasus.
Terkait dengan dugaan permintaan uang oleh sekolah, Budhi memaparkan berdasarkan penelitian yang dilakukan ORI DIY pada 2018 salah satu pendorong terjadinya pungutan tidak sah karena adanya beberapa orang tua yang memiliki ekspektasi dan menginginkan fasilitas pelayanan sekolah lebih untuk anak.
"Meskipun pada dasarnya sekolah telah memenuhi standar minimal sekolah nasional, ekspektasi dan keinginan lebih ini direspon sekolah dan pengurus komite menjadi kebijakan umum penggalangan dana di sekolah," jelasnya.
Kebijakan inilah yang kemudian menempatkan orang tua siswa lainnya harus ikut berperan serta. Padahal sebenarnya mereka sudah merasa cukup dengan kualitas pelayanan sekolah ada.
Aktor Utama
Penelitian yang dilakukan ORI DIY ini, sebut Budhi, pada dasarnya menempatkan sekolah sebagai aktor utama pendorong terjadinya pungutan tidak sah. Ini karena pihak sekolah melakukan perencanaan program sekolah yang tidak dapat atau tidak boleh di-cover dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga menjadi alasan melibatkan orang tua dalam pembiayaan.
Dalam kondisi ini, pada saat yang sama Komite Sekolah lebih banyak menuruti keinginan sekolah dan pengelola sangat keberatan ketika pungutan ini dinamakan pelanggaran.
"Padahal penggunaan sumbangan dari orang tua ini ini rawan terjadi penyimpangan, karena selama ini hampir tidak pernah ada audit laporan penggunaan yang sering kali tidak disampaikan kepada orang tua," tutur Budhi.
Terkait dengan kondisi ini, Ketua Dewan Pendidikan DIY Sutrisna Wibawa melihat ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pengelola sekolah. Pertama adalah menaati regulasi.
"Kedua, boleh diadakan partisipasi dari masyarakat asalkan prosedur yang harus ditempuh semuanya bersifat sukarela. Sumbangan dirapatkan Komite sekolah, kemudian orang tua sukarela. Mereka boleh dan tidak mengisi formulir yang diberikan," kata Sutrisna Wibawa saat dihubungi Eduwara.com.
Sumbangan bersifat sukarela, dulu juga pernah diterapkan saat dirinya menjadi Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bagi mahasiswa baru yang diterima lewat jalur mandiri. Saat itu, permohonan tidak membayar sumbangan disertai data lengkap tentang mengapa tidak mampu.
Sutrisna yang sekarang mengajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) tidak sependapat jika sumbangan ini diadakan dengan alasan pendidikan membutuhkan biaya besar. Menurutnya, ketersediaan anggaran yang diberikan oleh pemerintah melalui BOS sebenarnya mencukupi untuk berbagai program yang dihitung standar.
"Prinsip sumbangan itu yang saya kira harus diluruskan. Sebagai Kota Pendidikan, kita harus bersama menjaga kualitas tetapi tidak harus mengesahkan dengan cara-cara yang melanggar aturan," tegas Sutrisna.