logo

Gagasan

Kebijakan Politik Pendidikan Masih Diskriminasi

25 November, 2024 23:29 WIB
Kebijakan Politik Pendidikan Masih Diskriminasi
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. (EDUWARA/K. Setyono)

Eduwara.com, JOGJA – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan keputusan penarikan para guru berstatus pegawai negeri di berbagai sekolah swasta menandakan kebijakan politik dunia pendidikan masih diskriminasi.

“Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sejatinya tidak mengenal negeri dan swasta. Di kawasan-kawasan tertentu, ketika lembaga pendidikan negeri atau yang diselenggarakan pemerintah belum berdiri, justru di situ lembaga swasta khususnya organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah hadir untuk mencerdaskan bangsa,” kata Haedar Nashir, Senin (25/11/2024).

Dengan kemandirian dan masih banyak yang bermodal seadanya, menjadi tidak nasionalis jika guru-guru negeri yang mengajar di swasta ditarik kembali. Ini menjadi penanda kebijakan politik pendidikan yang diskriminasi.

Memperingati Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November, Haedar mengatakan problem guru di Indonesia masih di sekitar kesejahteraan. Penghasilan guru yang sedikit, bahkan di banyak tempat menjadi sukarelawan.

Dalam kurun terakhir pemerintah memang berusaha meningkatkan kesejahteraan para guru melalui program sertifikasi, meski hal tersebut belum sepenuhnya baik dan merata. Apalagi sampai ke peningkatan kesejahteraan guru swasta, meski mereka sama-sama bekerja dan berkhidmat untuk mencerdaskan bangsa.

Bicara guru sebenarnya bukan berhenti di kesejahteraan tapi juga tentang kualitas dan pengabdian untuk membangun negeri, khususnya meningkatkan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tanggung jawab bersama.

“Guru memiliki sejarah panjang mencerdaskan kehidupan bangsa, hatta di kala serba keterbatasan. Itulah era guru pejuang seperti kisah heroik guru Laskar Pelangi,” tuturnya.

Panggilan

Haedar juga menekankan kesejahteraan harus terus diagendakan untuk ditingkatkan, namun mesti disertai dan dilandasi pengkhidmatan para guru sendiri. Ketika kesejahteraan ditingkatkan maka kemampuan dan pengabdiannya pun mesti meningkat secara signifikan.

“Jangan sampai terjadi stagnasi dan kesenjangan orientasi. Kesejahteraan guru ditingkatkan tapi kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sebab sampai saat ini Human Development Index (HDI) serta daya saing bangsa Indonesia ternyata masih di bawah enam negara tetangga. Inilah agenda bersama memajukan pendidikan Indonesia,” terang Haedar.

Selain itu, Haedar juga mengungkapkan agenda pendidikan dan peningkatan guru tentu lebih menyeluruh, lebih dari sekadar kesejahteraan dan hal-hal administrasi instrumental. Tapi juga dan tidak kalah penting, soal panggilan dan pengkhidmatan agar terjadi keseimbangan antara kesejahteraan dan kualitas pendidikan Indonesia ke depan.

“Menjadi guru itu sejatinya sebuah panggilan (calling) untuk mendidik anak negeri menuju pencerdasan kehidupan bangsa. Seperti para pejabat publik, mengejar sejahtera tidak akan ada habisnya bila tanpa panggilan untuk berkhidmat majukan negeri. Tidak sedikit pejabat di negeri ini sudah sejahtera  bahkan berkemakmuran tapi di antara mereka masih dahaga korupsi dan gratifikasi. Hingga  ada yang menyimpan uang haram di rumahnya sampai satu triliun rupiah. Sungguh ngeri dan mungkin hanya ada di negeri ini!” tegasnya.

Karenanya, panggilan pengkhidmatan menjadi pendidik anak bangsa niscaya diletakkan di atas segalanya. Dengan segala penghormatan tinggi kepada para guru disertai usaha meningkatkan kesejahteraan guru, lebih-lebih di daerah terdepan, terjauh, dan tertinggal.

Read Next