Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO – Sembari menaburkan bunga-bunga, seorang tua terlihat merapalkan mantra tepat di bawah Patung Ranggawarsita yang berada di halaman depan Museum Radyapustaka Solo. Kepulan dan harum asap dupa membuat suasana pagi menjelang siang selepas hujan itu begitu magis.
Bendera Merah Putih sepanjang 1000 meter, yang sebelumnya membentang melintasi Jl Slamet Riyadi Solo dari Museum Keris sampai Museum Radyapustaka, kini melingkar mengitari seorang tua yang terus merapalkan mantra-mantra.
Bendera itu dibentangkan oleh anak-anak SMP Kebangsaan Bharata 2 Jumapolo Karanganyar yang mengenakan pakaian adat Jawa Lurik. Sejumlah orang berbusana wayang berwarna emas dan pernak-perniknya ikut membantu membentangkan bendera Merah Putih yang mengular seolah tak berujung.
Selain bendera Merah Putih, terlihat pula wayang Semar berukuran raksasa berwarna putih berdiri menghadap patung pujangga Keraton Solo, Ranggawarsita.
Selepas mantra dirapalkan, para perempuan berpakaian Jawa serba putih seperti bidadari menari di sekitar patung itu. Dengan tangan luwesnya, mereka memainkan selendang dan melenggak-lenggok tanpa mengurangi suasana magis.
Ki Kenthongan selaku Ketua Panitia menyebutkan acara tersebut merupakan ‘Reuni Semar Jaga Wayang’ yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Solo dan sejumlah komunitas pegiat budaya Solo.
Ia mengatakan kegiatan pagi itu sebagai aksi spiritual untuk menunjukkan bahwa budaya Jawa, khususnya wayang, masih eksis di Kota Solo.
“Kami ingin memperlihatkan kepada golongan yang akhir-akhir ini tidak suka dengan budaya kita. Bahkan dengan terang-terangan mengajak generasi muda agar memusnahkan wayang,” kata Ki Kenthongan yang juga mewakili Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Solo, Selasa (15/3/2022).
Ia beranggapan memusnahkan wayang adalah hal yang mustahil karena sama seperti memusnahkan bayangan manusia. Setiap kali ada cahaya, bayangan itu akan selalu ada.
Simbol Spiritual
Ki Kenthongan menjelaskan mengapa mereka melakukan kirab Bendera Merah Putih dan wayang Semar dari Museum Keris menuju Museum Radyapustaka Solo. Menurutnya hal itu merupakan simbol spiritual.
“Kita ingin membawa kekuatan dan energi spiritual yang disimbolkan dengan keris, kemudian diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini Disbudpar Solo (Kantor Disbudpar Solo berada di belakang Museum Radyapustaka) agar lebih mendapatkan kekuatan karena bersinergi dengan pecinta budaya,” tutur Ki Kenthongan yang mengenakan pakaian tokoh wayang Kresna.
Dia mengharapkan Disbudpar bisa bekerja sama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) Solo agar anak-anak sekolah tetap mencintai budaya Jawa terutama wayang. Dirinya ingin pemerintah mengadakan program di sekolah-sekolah agar anak-anak mengenal nilai-nilai filosofis dan spiritual wayang.
Senada dengan itu, Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Solo, Sungkono menyampaikan, acara kirab tersebut sebagai upaya dari pemerintah dan komunitas pegiat budaya Solo untuk mengingatkan sekaligus memperkenalkan kembali wayang kulit dan wayang orang kepada generasi muda di Solo.
“Di dunia ini, satu-satunya kota yang mempunyai wayang orang hanya Kota Solo. Setiap malam selalu main dan tidak ada liburnya,” ujar Sungkono yang masih mengenakan Beskap Jawa selepas selesai acara.
Menurut Sungkono, kondisi pewayangan di Solo sebenarnya masih baik. Hanya saja, karena masih pandemi Covid-19 volume pentas wayang berkurang. Pemerintah juga sudah beberapa kali mengadakan kegiatan yang mendukung kelestarian wayang seperti Festival Dalang Bocah.
“Singgah kala singgah, tan suminggah durkala sumingkir, sing asirah sing asuku, sint atan kasat mata, sing atenggak sing awulu sing abahu, kabeh padha sumingkira, ing telenging jalanidi.”
Tembang Macapat Pangkur Gedhong Kuning tersebut turut ditembang untuk menutup acara, menambah suasana magis menjelang siang itu.