Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) Edy Suandi Hamid mewanti-wanti agar dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru dilaksanakan secara terukur dan terencana. Menurutnya, banyak pihak yang tidak berharap pembiayaan IKN di Kalimantan Timur nantinya membengkak seperti proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Pandangan ini disampaikan Edy saat menjadi pembicara kunci dalam webinar yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa malam (1/3/2022).
Edy bersama dengan tiga pembicara lainnya, yaitu Ketua Departemen Politik dan Pemerintah Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim, Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta Nandang Sutrisno dan Ketua ICMI Orda Sleman Akhmad Akbar Susamto berbincang dengan tema 'Pindah Ibukota Negara di Mata Cendekiawan Jogja'.
Benang merahnya, pembicara sepakat membangun ibu kota baru tidak bisa menerapkan logika proyek legendaris Bandung Bondowoso, yang menggunakan prinsip cepat perencanaan dan pelaksanaan selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Perencanaan yang sempurna diperlukan agar ibu kota baru bukan replikasi masalah-masalah lama di ibu kota saat ini. Ibu kota perlu dipindah dari Jakarta ke luar Jawa, tetapi jangan tergesa-gesa pelaksanaannya.
"Membangun IKN jangan seperti membangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang dilaksanakan tergesa-gesa, minim perencanaan, anggaran tidak cermat. Langkah strategis dalam perencanaan wilayah, anggaran, model struktur ibu kota dan aspek terkait lainnya agar IKN bisa komprehensif," kata Edy Suandi.
Berkaca pada kasus proyek kereta api yang direncanakan cepat dengan biaya USD 6,07 miliar dolar atau setara Rp 86,5 triliun dari dana non-APBN, praktiknya, biaya membengkak di tengah jalan menjadi sekitar 8 miliar dolar AS atau setara Rp 114, 24 triliun. Pemerintah yang semula melarang biaya kereta api cepat dari APBN, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, berubah sikapnya membolehkan biaya dari APBN.
Edy juga mengindikasikan bahwa pembangunan IKN telah terjadi perubahan dimana pemerintah mengalihkan pemulihan ekonomi pandemi. Kalau itu terjadi, Indonesia bakal menghadapi masalah baru yang serius karena biaya pindah ibu kota itu sangat besar nilainya.
Dia memperkirakan biaya pindah ibu kota RI, minimum memerlukan anggaran Rp 466 triliun atau USD 32, 14 miliar dolar. “Kalau tidak diperhitungkan secara cermat, biayanya bisa membengkak berlipat seperti kasus membangun kereta api cepat,” katanya.
Biaya IKN, jika dibandingkan dengan pemindahan ibukota yang pernah dilakukan Australia, Kazakhstan, Myanmar, dan Malaysia, tergolong besar. Karena pindah ibu kota bukan soal political legacy atau warisan kebijakan politik yang monumental dari pemerintah saat ini.
"Jangan jadi keputusan politik yang ceroboh," katanya.
Dosen Fisipol UGM Abdul Gafar Rahman berpendapat, problem ibu kota berawal dari konsep pemusatan ketika ibu kota diciptakan menjadi pusat segala urusan.
"Ketika ibu kota baru diciptakan dengan model yang sama dengan Jakarta, maka persoalan ibu kota lama itu pindah ke ibu kota baru," katanya.
IKN, menurutnya, haruslah dirancang terpisah antara pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi, memiliki zona pemusatan vertikal atau pusat kekuasaan, dan zona pemusatan horizontal atau sektor bisnis dan urusan sederajat lainnya.