Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Eric Kaunan, menilai Indonesia membutuhkan pengajaran pendidikan perdamaian sejak dini. Sayangnya, belum ada kurikulum yang menjembatani hal tersebut pada level sekolah dasar bahkan sampai sekolah menengah.
Hal ini dipaparkan Eric saat Diskusi Pojok Bulaksumur bertajuk ‘Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia’.
“Saat ini pemerintah dan masyarakat bisa belajar banyak banyak mengenai pengalaman dalam pengelolaan, resolusi, dan intervensi terhadap konflik. Karenanya, pendidikan perdamaian perlu diajarkan sejak dini, agar konflik dan tragedi yang pernah terjadi di masa lalu tidak terulang kembali,” terang Eric Kaunan seperti dilansir pada Senin (2/12/2024).
Upaya mempertahankan perdamaian dalam berdemokrasi sangat dibutuhkan pendidikan perdamaian diajarkan sedini mungkin. Namun, meskipun pendidikan perdamaian ini sangat penting ditanamkan sejak kecil, belum ada kurikulum yang menjembatani hal tersebut pada level sekolah dasar bahkan sampai sekolah menengah.
“Ada pun pada jenjang pendidikan tinggi, hanya diajarkan pada beberapa mata kuliah pilihan saja. Besar harapan kami, proses perdamaian ditanamkan sejak kecil,” katanya.
Pendidikan Kewarganegaraan
Sasaran utama dari pendidikan sejak dini adalah para calon generasi muda yang akan menjadi agen perdamaian pada masa mendatang. Menurutnya, potensi-potensi konflik dapat muncul dari mana saja, oleh karena itu fokusnya saat ini adalah mengembangkan media digital selain dari sumber konflik namun juga sebagai sumber perdamaian.
Ia mengharapkan tantangan-tantangan yang ada terkait hal tersebut dapat melahirkan gagasan-gagasan serta kebijakan-kebijakan baru yang dapat menguatkan perdamaian baik secara nasional maupun internasional.
Eric berpendapat mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan sebagai upaya pembentukan perdamaian, seharusnya dapat diaplikasikan dan tak hanya berakhir di ruang-ruang kelas saja. Hal ini perlu diperkuat dengan adanya peran-peran tokoh masyarakat yang dapat menghubungkan gagasan-gagasan secara lebih luas kepada masyarakat.
“Setiap orang pun dapat menjadi tokoh, tergantung dengan values apa yang mereka bangun,” katanya.
Sosiolog UGM Arie Sujito menekankan bangsa Indonesia memiliki ruang yang cukup besar dalam mengelola kemajemukan dalam masyarakat sebagai modalitas. Hal tersebut yang akan menjadi titik tumpu demokrasi, yang dalam prosesnya tentu akan menemukan banyak konflik dari berbagai banyak lapisan dan kepentingan.
“Kemudian dari dinamika yang beragam tersebut, ada pola-pola yang dapat dipelajari. Itu tentu semestinya dapat diolah agar demokrasi tetap baik,” jelasnya.
Menurutnya, dalam upaya pencarian resolusi konflik seharusnya tak boleh ada kekerasan dalam proses penengahan konflik, terlebih pada saat demonstrasi.
“Demonstrasi tak seharusnya dijadikan suatu pertentangan namun upaya untuk menyelesaikan masalah,” katanya.