Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO – “Buka, buka pintunya! Buka, buka pintunya! Aku di sini, dikurung seperti anjing!” teriak Selasih membuka pementasan teater berjudul Pertja oleh Kelompok Teater Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) Solo, Senin malam (28/3/2022).
Ratusan pentonton rela berjubel memenuhi tempat pementasan di Sanggar Teater Tesa yang berada di belakang gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kantin Sastra FIB UNS.
“Aku tidak perawan lagi, Ayah. Aku telah mengusirnya dari tubuhku. Ranjangku tidak lagi berkelambu. Aku kecewa tapi aku lega. Di dalam perutku tetangga-tetangga sedang riuh berkumpul. Mencari-cari hukuman di otak lempungnya untuk mereka paku di keningku. Keperawanan harus disudahi. Supaya daging-daging perempuan dapat terus tumbuh, tanpa parut di dahi...”
Pun ratusan pasang mata telah dicuri perhatiannya oleh Selasih (yang diperankan oleh Kesia Fani). Seorang tokoh perempuan yang hamil di luar nikah. Ia seorang perempuan belia umur 15 tahun, harus menanggung beban mengandung anak di dalam rahimnya. Sebab dihamili oleh Ayah yang bukan orang tua kandungnya. Namun Ayah meninggal jauh sebelum Selasih melahirkan anak.
Rosa diperankan Aini, kakak paling tua Selasih begitu membenci adik bungsunya itu. Ia merasa malu, jijik, sekaligus marah kepada Selasih. Setiap bertemu Selasih, ungkapan cemooh dan segala kata kotor dialamatkan pada adiknya.
Meski begitu, Rosa terus berusaha menghidupi keluarga kecilnya. Ia, Pupu, dan Selasih. Kedua orang tua mereka telah meninggal dunia. Dan meninggalkan kemiskinan. Hingga Rosa terpaksa bekerja pada malam hari, menjadi Germo.
Di rumah, hanya Pupu (diperankan Isabella Enola), kakak perempuan Selasih yang masih mau mengurusnya. Ia bekerja membuat obat. Semacam apoteker. Kelak, obat yang dibuat oleh Pupu meracuni Brojo (diperankan Erhan Al Farizi). Seorang tua kaya yang kerap menggoda dan memaksa Selasih memenuhi nafsunya.
Emosi penonton yang sudah datang satu setengah jam sebeum pentas dipaksa naik turun selamapementasan. Penonton yang lebih banyak dari kalangan mahasiswa itu sesekali tertawa ketika tokoh Ryan (Alif Vindi), pacar Pupu muncul dengan gaya bahasa yang kemayu. Belakangan, ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang gay.
Di akhir cerita, rumah Rosa, Pupu, dan Selasih tergusur atas nama pembangunan negara. Rumah mereka luluh, rata dengan tanah. Alunan musik gitar menambah suasana muram dan sedih pada penonton.
Brojo yang mati karena diracun Selasih, ternyata sering ‘bermain’ dengan Ryan. Mayatnya kemudian dimutilasi Ryan. Sebelum itu, Ryan terlebih dahulu 'menikmati' tubuh Brojo yang terbujur kaku di atas meja.
Malam itu, penonton disajikan pementasan teater yang luar biasa. Beberapa lama, penonton masih enggan beranjak meski pentas sudah usai. Ucapan selamat bertubi-tubi dihaturkan kepada Kelompok Teater Tesa. Kerik jangkrik bersahutan di sekitar area pentas seakan ikut bergembira melihat pementasan dari Kelompok Kerja Teater Tesa.
Dekat dengan Kehidupan
Sutradada pentas Salam Badar mengatakan, pentas yang ia garap ini memang bukan pentas-pentasan. Ia menggarap dengan serius. Sedikitnya selama tiga bulan dia dan semua kru mempersiapkan untuk mementaskan Pertja ini.
“Naskah pada pementasan ini dikarang oleh Benny Yohanes pada 2009. Kami sengaja memilih naskah ini karena wacana yang ada dalam naskah sangat menarik. Menceritakan orang-orang yang termajinalkan secara sosial,” kata Salam saat ditemui Eduwara selepas pentas.
Menurut Salam, banyak wacana yang bisa diangkat dari naskah tersebut. Tapi ia ingin menyoroti kata Pertja itu sendiri, yaitu potongan-potongan yang tidak terpakai dan terbuang tapi sebenarnya mereka ada.
”Setiap tokohnya cukup mewakili kaum-kaum yang termarjinalkan seperti seorang mucikari, gay, perempuan yang hamil di luar nikah,” ucap dia.
Pada pentas ini, Salam ingin menunjukkan bahwa mereka, orang-orang yang termajinalkan tidak selalu orang yang miskin saja. Orang yang mampu secara finansial bisa saja terpinggirkan dan dijauhi oleh sosialnya karena identitas yang melekat pada mereka.
“Ndilalah aku dan teman-teman hidup di lingkungan yang cukup heterogen. Dan kami terbuka atas identitas apapun. Daripada kami mengangkat narasi yang mungkin terlalu jauh, kami pilih mementaskan hal yang dekat dengan kehidupan kami,” terang mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNS itu.
Kesia Fani Pancaraningtyas, pemeran Selasih, menuturkan ketika berperan sebagai Selasih, ia merasa kasihan kepada tokoh Selasih. Gadis belia berumur belasan tahun mengalami pelecehan seksual oleh Ayah yang bukan orang tua kandung.
Kesia mengaku sempat merasa kesulitan saat mendalami peran sebagai Selasih. Hal itu karena umur Selasih yang masih 15 tahun, tapi dipaksa mengetahui tentang dunia orang dewasa.
“Cukup sulit memerankan Selasih, anak kecil yang ceplas-ceplos dan spontan. Sifat spontanitasnya itu yang cukup sulit aku lakukan. Tapi bersyukur banyak yang memberi arahan sehingga masalah itu bisa teratasi,” ujar Kesia.
Melalui tokoh Selasih, Kesia belajar untuk selalu berhati-hati terhadap siapapun. Apa yang ia dapat tidak lantas ia terima begitu saja, ada proses pemilahan, mana yang sekiranya pantas saya terima.
“Pun kita tidak bisa melakukan apapun seeanak kemauan kita. Ada batas-batas yang harus kita patuhi di masyarakat,” ungkap mahasiswa semester enam program Sastra Daerah ini.
Salah satu penonton Rizki Andraningtyas menyampaikan pentas ini adalah salah satu pentas terbaik dari Kelompok Teater Tesa yang pernah ia lihat. Semua pemeran terlihat mendalami peran yang mereka mainkan. Dekorasi yang dipakai juga dibuat tidak serampangan. Ia yakin pentas ini digarap dengan sangar serius.
Menurut tafisran Tyas, pentas ini menceritakan tentang sebuah konflik keluarga miskin. Pentas ini juga seperti menyindir situasi sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekitar. Orang-orang terpinggirkan hanya karena identitas yang tidak bisa mereka pilih.
Tyas menambahkan, harusnya setelah menonton ini, penonton setidaknya merasa tersinggung dan harus sadar betul bahwa orang-orang dengan identitas tertentu u tidak harus kita pinggirkan. Mereka ada dan mereka manusia, maka harus dimanusiakan.
“Tapi aku tidak setuju dengan tokoh Selasih bahwa keputusan-keputusan hidup perempuan harus ia sendiri yang tentukan, tidak boleh siapaun termasuk keluarga. Bagiku, bimbingan keluarga itu masih sangat perlu,” pungkas Tyas.