Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Sebagai pelopor sekolah berbasis budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), SMAN 1 Jetis Kabupaten Bantul menilai pendidikan karakter anak yang sesuai adat istiadat Jawa menjadi hal terpenting.
Lewat program Jumat Jawa Mlipis (JJM), anak didik diajak menerapkan budaya Jawa di lingkungan sekolah.
"Tahun lalu kita ditetapkan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY sebagai sekolah sehat berbasis budaya. Belum banyak sekolah yang menerapkan budaya Jawa secara mendalam," jelas Wakil Kepala Sekolah Hubungan Masyarakat Ema Kusumawati kepada Eduwara.com, Sabtu (20/11/2021).
Selama ini sekolah-sekolah mencoba mengajarkan budaya maupun bahasa Jawa ke anak didik. Namun itu lebih banyak terhenti pada aksara saja terpampang di banyak titik. Sehingga pembelajaran kebudayaan Jawa hanya sekedar slogan.
Dimulai sejak tahun ajaran 2018-2019, Ema mengatakan kurikulum pendidikan kebudayaan sudah disusun dan dimasukkan dalam proses pembelajaran siswa. Baru dua tahun terakhir ini, pembelajaran dan penanaman karakter ke anak didik ditingkatkan.
"Awalnya kita mulai dengan penggunaan busana. Titik masuknya dari kebijakan Pemda DIY yang mewajibkan Kamis Pahing memakai kebaya dan jarik. Dari sana kami mengajari anak-anak tentang tata cara ngadi busana, ngadi saliro dan tata krama," lanjutnya.
Ema bercerita pada mulanya memang ada kesulitan mengajarkan kebudayaan Jawa kepada anak didik yang merupakan generasi milenial dan cenderung berorientasi pada budaya barat atau Korea.
"Cukup susah mengajari anak untuk bisa mencintai budaya sendiri, khususnya Jawa. Kita mulai dari pakaian yang kelihatan. Kemudian berlanjut ke unggah-ungguh, dimana di sana mengajarkan salam sapa senyum (3S)," jelasnya.
Bahkan untuk mengajari cara berpakaian Jawa yang benar, pihak sekolah mengadakan workshop dengan pemateri dari Keraton Ngayogyakarta. Hasilnya, anak didik mulai memahami tata cara penggunaan busana Jawa dan tidak ada lagi yang mencampurkan dengan sepatu kets.
Tanggung Jawab Bersama
Para guru menyadari pendidikan proses pendidikan budaya Jawa ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya guru bahasa Jawa. Sehingga diputuskan setiap hari Jumat diterapkan penggunaan kebudayaan Jawa sepenuhnya.
"Jumat Jawa Mlipis (JJM) mewajibkan siswa, guru maupun pemangku sekolah untuk berbusana dan menggunakan bahasa Jawa di lingkungan sekolah. Kepada tamu kami juga diwajibkan berbahasa Jawa," katanya.
Dari program ini anak-anak ternyata bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik ketika berkomunikasi dengan guru atau orang yang lebih tua sesuai aturan tata penggunaan bahasa Jawa.
Yang lebih membanggakan lagi, tutur Ema, ketika diminta membaca aksara Jawa tanpa terjemahan secara berkala ternyata bisa.
"Tulisan jawa tanpa ada penerjemahan. Biar anak penasaran. Anak juga kita minta mengartikan. Jika tidak bisa, maka tidak boleh melanjutkan kegiatan. Terkadang kita iseng jadikan bahan tebak tepat bagi anak-anak," jelasnya.
Tidak hanya itu, sebagai pendukung pembelajaran kebudayaan Jawa sekolah menghadirkan berbagai pelatihan mengenai geguritan, lalu ada ekstra menari serta karawitan.
Bersamaan dengan hari jadi SMAN 1 Jetis yang ke-37 pada 20 November ini, Ema mengatakan sekolah menarget anak-anak didik. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tergerus budaya milenial, namun mereka diharapkan meneruskan dan melestarikan tradisi kebudayaan Jawa yang sudah ditanamkan di sekolah.
"Tema kita tahun ini yaitu 'Modernitas Merajut Tradisi'. Kata kuncinya pendidikan karakter itu sangat penting. Kita sudah tidak bisa membiarkan anak-anak bersikap tidak peduli lagi. Kami memberi contoh dengan menyapa, mengucapkan salam dan ucapan terima kasih dalam bahasa Jawa," lanjutnya.
Pengakuan tentang sekolah berbasis budaya ini langsung diberikan oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang hadir langsung pada upacara.
Mewakili GKR Hemas, Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya menilai apa yang dilakukan SMAN I Jetis dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa ini sudah betul. Ia melihat ada tiga konteks yang mendukung itu.
"Pertama, nilai-nilai kebudayaan Jawa diterapkan sangat baik di lingkungan sekolah. Anak-anak mampu memahami nilai tersebut maupun artefak dalam kebudayaan Jawa," ujarnya.
Kedua, para guru berhasil memberikan contoh bagaimana seharusnya menerapkan kebudayaan Jawa semestinya. Ketiga lingkungan sekolah yang asri, sejuk, teduh dan asri mencerminkan budaya DIY yang sesungguhnya.
"Harapan kita seluruh sekolah di DIY mengembangkan pendidikan berbasis budaya. Kehadiran GKR Hemas menjadi momen yang pas untuk merespon apa yang sudah dilakukan sekolah dan ini menjadi lecutan bagi kita semua," ungkap Didik.