Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Bersama perangkat Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (FH UWM), Laili Nur Anisah, menyosialisasikan dan mendiskusikan kekerasan dalam rumah tangga.
"Ini bentuk pengabdian kami kepada masyarakat. Tema 'Pemahaman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga' dipilih karena masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap pentingnya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Terlebih perangkat desa yang menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah untuk warganya," katanya.
Dalam paparannya, Laili menyatakan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik sampai sekarang masih dianggap sebagai aib, dan para korban beserta keluarganya cenderung merahasiakan atau tidak melaporkan ke aparat kepolisian.
Sikap tertutup itu menjadikan kasus kekerasan rumah tangga tersusun rapi dalam 'kotak pandora'. Padahal kasus demikian cukup tinggi. Di DIY sendiri kejadiannya bisa mencapai 700 kasus per tahun.
"Masyarakat bersama perangkat desa perlu disadarkan bahwa menutup rapat tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak menyelesaikan masalah," ungkapnya.
Mengacu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Laili memaparkan, terdapat empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.
"Dari data kekerasan rumah tangga di Yogyakarta, kasus terbanyak kekerasan penelantaran rumah tangga dan kekerasan fisik," jelasnya.
Menjawab pertanyaan warga dalam dialog tentang cara-cara penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga di lingkungan RT/RW, dia menyatakan, korban dan keluarga serta aparat desa perlu sepakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan wilayah publik.
Ini diperkuat dengan undang-undang dan peraturan turunannya, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Problem dalam penanganan kasus ini, para korban dan keluarga tidak bersedia untuk membuka masalahnya ke publik atau melaporkan ke aparat penegak hukum karena kasus itu dianggap sebagai aib dan harus dirahasiakan.
"Kasus kekerasan rumah tangga dikategorikan wilayah publik didasarkan adanya perundangan yang mengatur tentang ancaman dan sanksi pidana penjara 5 tahun ke atas untuk kekerasan fisik, 3 tahun ke atas untuk kekerasan psikis, 5 tahun ke atas untuk kekerasan seksual dan 3 tahun ke atas untuk penelantaran rumah tangga," tutupnya.