Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun ini akan melakukan revitalisasi 38 bahasa daerah di 12 provinsi di Indonesia. Revitalisasi bertujuan untuk menjaga keberlangsungan bahasa dan sastra daerah.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi Nadiem Makarim Anwar memaparkan, menurut data UNESCO, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir telah ada 200 bahasa daerah di dunia yang punah. Di Indonesia sendiri, lanjut Nadiem, terdapat 718 bahasa daerah.
“Banyak bahasa daerah yang kondisinya terancam punah dan kritis. Penyebab utamanya adalah karena para penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya kepada generasi berikutnya,” papar Nadiem dalam Webinar Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas dengan tema “Revitalisasi Bahasa Daerah”, Selasa (22/2/2022) yang digelar Kemendikbudristek.
Sasaran revitalisasi bahasa daerah terdiri dari komunitas tutur, guru, kepala sekolah, pengawas, siswa.
Sebanyak 38 bahasa daerah yang direvitalisasi itu adalah di Provinsi Sumatra Utara yakni Bahasa Melayu dialek Pasai, Bahasa Batak dialek Angkola, Bahasa Melayu dialek Sorkam. Kemudian, di Provinsi Jawa Barat dengan Bahasa Sunda serta Provinsi Jawa Tengah dengan Bahasa Jawa.
Untuk di Provinsi Kalimantan Tengah yakni Bahasa Dayak Ngaju, Bahasa Melayu dialek Kotawaringin, Bahasa Uat Danum, Bahasa Maanyan. Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Bahasa Sasak, Bahasa Sumbawa, Bahasa Bima.
Lalu, di Provinsi Kalimantan Timur yakni Bahasa Kenyah, Bahasa Paser, dan Bahasa Melayu dialek Kutai Kota Bangan. Revitalisasi bahasa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yakni Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Toraja.
Selanjutnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni Bahasa Dawan, Bahasa Manggarai, Bahasa Kanbera, Bahasa Rote, Bahasa Absi. Kemudian di Provinsi Maluku Utara yakni Bahasa Ternate, Bahasa Tobelo, Bahasa Sula, Bahasa Makian Timur.
Revitalisasi bahasa daerah juga menuju Provinsi Maluku yakni untuk Bahasa Baru, Bahasa Kei, Bahasa Yandema. Selanjutnya di Provinsi Papua yakni Bahasa Tobati, Bahasa Sentani, Bahasa Biyekwak, Bahasa Sobey, Bahasa Mariad, Bahasa Biak, Bahasa Kamoro.
Tiga Model
Lebih lanjut dikatakan Nadiem, Kemendikbudristek merancang tiga model revitalisasi yang tidak seragam dalam revitalisasi bahasa daerah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi di lapangan terhadap kerentanan bahasa itu sendiri.
Penerapan Model A dilakukan kepada bahasa yang daya hidup bahasanya masih aman. Pendekatannya dilakukan melalui pembelajaran di sekolah melalui muatan lokal atau kegiatan ekstrakurikuler. Contoh untuk Model A ini adalah Bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Sedangkan untuk penerapan Model B adalah bahasa daerah yang tergolong rentan meski penutur bahasanya masih cukup banyak. Pendekatannya dilakukan melalui bahasa tutur melalui komunitas daerah dengan menggunakan forum-forum. Contoh untuk Model B ini adalah Bahasa Nusa Tenggara Barat, Bahasa Sumatera Utara, Bahasa Sulawesi Selatan.
Selanjutnya untuk penerapan Model C adalah bahasa yang risiko punahnya tinggi karena penuturnya sedikit. Pendekatannya dilakukan dengan menunjuk beberapa keluarga dan juga melibatkan komunitas serta mengaktifkan kegiatan bersama komunitas penutur di sejumlah tempat yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Seperti misalnya tempat ibadah, taman bacaan masyarakat, dan sebagainya. Model C akan dilakukan untuk Bahasa Kalimantan Tengah, Maluku, Papua.
Nantinya pada akhir tahun 2022, revitalisasi bahasa daerah akan dirayakan di tingkat nasional melalui Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang juga melibatkan para siswa. Festival ini akan mengusung tujuh materi yakni membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek, membaca dan menulis puisi, Mendongeng, Pidato, Tembang Tradisi, Komedi Tunggal.
“Kami berharap dengan revitalisasi bahasa daerah ini para penutur muda akan menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh sukacita dan menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya,” pungkas Nadiem.