Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO—Gerimis baru saja mengguyur kota Solo. Di bawah terpal yang masih menampung sisa air hujan, puluhan orang memadati pendopo yang disulap menjadi tiga panggung itu.
Di salah satu panggung terlihat seorang laki-laki sedang berbincang dengan perempuan yang menjajakan dagangannya.
Di depan kedua orang itu ada anak laki-laki yang sedang membereskan kumpulan wayangnya. "Kukut le? Ngantuk? Turuwa njero kana dhisik," kata si perempuan yang dipanggil Mbok Jiyah.
Anak laki-laki yang bernama Gambleh itu meletakkan kumpulan wayangnya di dalam rumah dan keluar seraya berkata, "Wayange wis ora ana sing nonton, wegah!".
Ketika Gambleh berjalan keluar, dia menabrak lelaki dengan pakaian compang-camping dan membawa tongkat. Lelaki bernama Mukiya itu mengomel sejadi-jadinya kepada Gambleh karena mengejaknya gila. "Mukiya kenthir... Mukiya setrip... Mukiya wong edaaaann..." seru Gambleh.
Penonton tertawa melihat adegan tersebut. Apalagi ditambah saat Mukiya sadar bahwa dia mengomel sendiri seperti benar-benar orang gila.
Sampai akhir pementasan, penonton dibawa mengikuti alur cerita pentas itu. Mereka sesekali tertawa karena tingkah Mukiya dan Gambleh. Penonton terlihat fokus ketika memasuki adegan Kanjeng dengan Gembok.
Akhirnya, tepuk tangan meriah terdengar setelah lampu meredup ketika adegan epilog yaitu Mukiya yang menarikan wayang gunungan berakhir.
Demikianlah suasana pentas produksi Teater Depan, Politeknik Pratama Mulya Solo pada Sabtu (29/1/2022) malam lalu. Pementasan yang digelar di Sanggar Seni Kemasan itu membawakan naskah berjudul ROL, karya Bambang Widoyo SP.
Ketua Panitia, Afif Bayu Aji mengatakan rencana tempat pentas pada awalnya di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).
"Pada awalnya kami akan pentas di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Namun karena bekerja sama Sanggar Seni Kemasan, ya sudah sekalian saja tempatnya di sini," kata dia ketika diwawancarai Eduwara.com selepas pentas.
Menurut kacamata Afif, pementasan malam itu berjalan lancar walaupun pada awalnya para pemain terlihat tegang. Selain menjadi ketua acara, dia juga bertugas mengatur lampu saat pentas.
"Ketika latihan di kampus hanya enam channel, di sini menjadi 13 channel dengan 21 lampu. Saya juga ikut gugup karena baru kali pertama mengoperasikan lampu pertunjukkan itu," ujar dia.
Sementara itu, Sutradara Pentas, Budi 'Bodhot' Riyanto mengatakan proses latihan mengalami kendala akibat pandemi.
"Sebenarnya proses latihan agak panjang. Karena adanya pandemi kami dua bulan sempat off. Setelah kampus membuka perkuliahan dan aktivitas UKM, maka kami lanjutkan lagi," kata dia yang biasa disapa Lik Bodhot itu.
Lebih lanjut, Lik Bodhot menjelaskan sekitar September hingga Oktober mulai latihan kembali dengan tetap menaati aturan kampus. Kemudian dilanjutkan hingga Desember dan dipentaskan malam ini.
Pemilihan naskah pentas malam itu berangkat dari program pentas kecil Teater Depan. Pentas kecil menampilkan naskah buatan sendiri dan kecenderungannya senang dengan naskah berbahasa Jawa.
"Mereka lebih senang membuat naskah berbahasa Jawa. Kemudian saya tawarkan dengan naskah berbahasa Jawa yang agak mapan yaitu karya Mas Bambang Widoyo SP, dan mereka senang ya sudah kami lanjutkan hingga pentas produksi," jelas dia.
Menurut Lik Bodhot, pemilihan naskah berbahasa Jawa menjadi upaya mendekatkan bahasa Jawa kepada generasi muda.
"Istilahnya mengenalkan dan menambah pengetahuan mengenai bahasa Jawa sebagai ungkapan berekspresi dalam kesenian teater," kata dia.
Pengenalan tersebut misalnya membedakan pengucapa da dan dha, serta ta dengan tha dalam proses latihan. Dengan hal itu, pemain setidaknya belajar berbahasa Jawa yang agak enak didengar.
Adapun pemilihan naskah ROL, menurut Lik Bodhot merupakan satu dari empat naskah karya Bambang Widoyo SP yang masih bisa dijangkau oleh pemain.
Hal itu dikarenakan tiga naskah yang lain yaitu LENG, TUK, dan DOM membutuhkan kemampuan musikalisasi tembang dan gerak tari.
Di sisi lain, salah seorang penonton, Farhan Hamid mengutarakan sedikit paham dari segi kebahasaan yang digunakan dalam pementasan.
"Mengenai bahasanya saya sedikit paham. Kalau bahasa Jawa halus seperti di Kraton saya tidak bisa menangkap, tapi bahasa Jawa biasa saya bisa. Kemudian dari alur cerita saya paham karena menonton dari awal sampai akhir," kata dia.
Lebih lanjut, Hamid mengatakan pentas itu menjadi obat menonton teater secara langsung. "Pementasan ini seolah menjadi obat rindu akibat vakum dua tahun lebih. Apalagi di tempat yang agak terbuka membuat masyarakat lebih berani menonton daripada indoor," tambah dia. (K. Setia Widodo)