Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, MALANG—Data kemiskinan ekstrem di empat daerah di Jawa Timur (Jatim) diketahui tidak valid setelah Tim Peneliti FISIP Universitas Brawijaya (UB) melakukan survei konsolidasi data penanganan kemiskinan ekstrem desa di empat kabupaten, yakni Bojonegoro, Probolinggo, Bangkalan, dan Lamongan.
Ketua Tim Peneliti dari FISIP UB, Lukman Hakim, mengatakan konsolidasi data di empat kabupaten di Jatim, yakni Bojonegoro, Probolinggo, Bangkalan, dan Lamongan, dilakukan dengan cara membandingkan antara data kemiskinan menurut Surat Keputusan (SK) Bupati dengan data lapangan yang disetujui oleh kepala desa.
Tim survei turun, masing masing lima desa di lima kecamatan. Mereka melakukan konsolidasi data yang disetujui oleh kepala desa.
"Dari data yang ada, banyak perbedaan yang muncul," kata Lukman Hakim dalam keterangan resminya, Jumat (31/12/2021).
Di Kabupaten Probolinggo, data menurut SK Bupati menyebutkan jumlah kemiskinan ekstrem ada 3.672 warga, sedangkan berdasarkan hasil konsolidasi data tim peneliti berkurang menjadi 2.884 warga. Sebaliknya di tiga kabupaten yang lain ada penambahan jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem.
Di Kabupaten Bangkalan, berdasarkan SK Bupati disebutkan jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem mencapai 10.617, sementara dari hasil konsolidasi ada penambahan 10.990 warga. Di Kabupaten Lamongan, SK Bupati menunjukkan ada 1.191 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem. Sementara pasca survei ada 1.392 warga.
Sementara di Kabupaten Bojonegoro, berdasarkan SK Bupati ada 7.162 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem, dan setelah hasil survei ada penambahan 7.280 warga.
"Data ini adalah data yang sudah kami konsolidasikan di lapangan. Di Probolinggo misalnya ada 931 data yang dihapus setelah dilakukan verifikasi oleh kepala desa sebab ada yang meninggal dan faktor yang lain," tutur Lukman.
Sensus Penduduk Miskin
Survei Konsolidasi Data Penanganan Kemiskinan Ekstrim Desa yang dilakukan Tim Peneliti yang terdiri dari Muhammad Lukman Hakim, bersama HB Habibi Subandi dan Abdul Wahid, dilakukan atas kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Tim Peneliti FISIP UB selanjutnya mengusulkan agar Kemendes PDTT melakukan sensus penduduk miskin. Sensus penduduk ini dilakukan orang per orang sehingga akan diketahui secara valid datanya berdasarkan kategorisasi yang ada.
Tim Peneliti FISIP UB juga mendorong adanya definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh penduduk miskin sendiri, bukan dari akademisi atau kementerian.
"Kita harus bertanya ke mereka, misal di Bojonegoro rumahnya jelek ternyata dia belum miskin sebab di belakang rumahnya ada pohon jati yang banyak," kata Lukman.
Sebaliknya, di Bangkalan banyak rumah bagus tapi orangnya masuk kategori miskin. Hal itu yang penting dari sensus sehingga akan mendapatkan kategorisasi miskin secara jelas karena antar desa dan wilayah pasti akan berbeda.
Tim Peneliti FISIP UB juga menilai kemiskinan ekstrem yang disusun oleh pemerintah daerah belum mengakomodasi ketentuan hukum yang bersumber dari Kemendes PDTT sehingga perlu kebijakan khusus tambahan yang didukung instrumen sistem Kemendes PDTT hingga struktur terbawah, agar verifikasi serta validasi data lebih efektif.
Menurut Lukman Hakim, survei ini juga mengkonfirmasi kebijakan Mendes PDTT terkait pendekatan verifikasi dan validasi yang dilakukan dengan pendekatan mikro, yaitu bottom up, berbasis pada kebutuhan dan kondisi faktual masyarakat di bawah, tidak semata kepentingan elit desa.
"Tentu hal ini perlu didukung kebijakan yang kuat dan sinkron dengan instrumen penyusunan data yang telah ada," ucapnya.
Tim Peneliti FISIP UB mengusulkan adanya sensus penduduk miskin karena data kemiskinan ekstrem yang ada di lapangan berbeda antara data di level desa dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).