logo

Sekolah Kita

Pengembangan SLB Jadi LSP-P1, Keuntungan Besar bagi Peserta Didik

Pengembangan SLB Jadi LSP-P1, Keuntungan Besar bagi Peserta Didik
Kegiatan Festival P5 SLBN Solo belum lama ini. Dalam festival itu juga dipamerkan hasil keterampilan siswa seperti payung hias, produk batik, dan kuliner. (EDUWARA/K. Setia Widodo)
Redaksi, Sekolah Kita28 Desember, 2022 22:34 WIB

Eduwara.com, SOLO – Kepala Seksi SMA/SMK dan SLB Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VII Jawa Tengah, Edi Purwanto, menyambut baik peluncuran 10 Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai rintisan Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Kesatu (LSP-P1) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP). 

Jika nantinya program tersebut bisa diterapkan di seluruh SLB, Edi Purwanto berharap ada pendampingan dari pemerintah.

"Dalam arti pendampingan sarana prasarana, anggaran, dan sebagainya. Kemudian ketika sudah ada sertifikasi standar kerja semacam itu, berarti anak-anak ketika lulus sudah qualified di dunia usaha dan hal ini menjadi keuntungan besar bagi peserta didik karena sudah dibekali dengan standar kerja yang harus dia miliki agar diterima di dunia usaha," kata Edi Purwanto kepada Eduwara.com, Rabu (28/12/2022), di ruang kantornya.

Seperti diketahui, pekan lalu Kemendikbudristek bersama BNSP meluncurkan 10 SLB sebagai rintisan LSP-P1. Perintisan ini bertujuan memperkuat layanan pendidikan keterampilan peserta didik disabilitas, menciptakan layanan pendidikan keterampilan yang inklusif, tangguh, dan berdikari. 

Selain menggandeng BNSP, Kemendikbudristek juga bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dalam proses mengembangkan SLB menjadi LSP-P1.

Menurut Edi Purwanto, program tersebut bisa menepis pemikiran miring terhadap siswa penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Artinya, sertifikasi standar kerja sangat bagus bagi mereka dan juga diterapkan di SLB.

Terlebih lagi, program-program keterampilan atau keprofesian di SLB sudah tataran kebutuhan hidup dan dibutuhkan masyarakat. Misalnya di SLBN Solo terdapat keahlian menjahit, sablon, kerajinan tangan berupa souvenir, hantaran, kuliner, dan lainnya.

"Belum lama ini kami memberikan pelatihan tambahan kepada anak-anak di luar jam sekolah seperti menjahit, bordir, dan IT. Kami sangat mendukung jika keterampilan-keterampilan ini akan dibuat semacam sertifikasi," tambah dia.

Menurut Edi, jika nantinya seluruh SLB di Indonesia dijadikan LPS-P1, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak, terlebih dengan industri.

"Kalau mendidik anak dengan pola kita, kemudian tidak disinkronkan dengan industri, bisa jadi tidak sesuai seperti kompetensinya kurang. Maka kami selama ini, kami terus menjalin dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI). Begitupun di SLB, ada beberapa pengusaha yang memang sudah membuka untuk menjadi tempat magang bahkan ada yang memberi kuota khusus untuk siswa-siswa berkebutuhan khusus," jelas dia.

Edi menegaskan, kolaborasi adalah sebuah keniscayaan. Mengingat bagaimanapun user-nya adalah industri. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila siswa sudah diberi keterampilan yang sedemikian rupa namun tidak sesuai yang dimaksudkan oleh pihak DUDI. (K. Setia Widodo)

Read Next