Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Kalangan akademisi melihat dukungan dan pemberdayaan perempuan dalam penelitian bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) masih belum sesuai harapan. Karena itu, melalui kerja sama dengan British Council UK, perempuan didorong menjadi pemimpin di bidang STEM, yang selama ini dikuasai oleh laki-laki.
Hal ini tercermin dalam diskusi bertajuk 'STEM POWER: Brainstroming, Penguatan, dan Refleksi Calon Peneliti dan Pemimpin Perempuan', pada Sabtu (2/11/2024).
Diskusi ini diselenggarakan oleh beberapa dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yaitu Antuni Wiyarsi, Nur Aeni Ariyanti, dan Nur Fitriyana. Ketiganya dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Juga, Siti Irene Astuti Dwiningrum dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) dan Alexandra Kendall dari LSBK UK.
Hadir sebagai pembicara kunci dalam diskusi yang diselenggarakan di FMIPA UNY adalah Nurfina Aznam dari FMIPA UNY dan Rosa Delima dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).
Dalam sambutannya, Antuni Wiyarsi menjelaskan bahwa program ini diawali dari program penelitiannya yang didanai oleh British Council, UK.
“British Council punya proyek penelitian tentang kesetaraan gender," jelas Antuni Wiyarsi, seperti dilansir Selasa (5/11/2024).
Saat di London, lanjut Antuni, bersama mitra kerja, ia diajak mengkaji tentang bagaimana para perempuan yang berjuang di bidang STEM, yang selama ini dikuasai oleh laki-laki. Kemudian, bagaimana seorang perempuan eksis di bidang STEM dan bisa menjadi pemimpin.
Antuni mengatakan, ia dan teman-teman peneliti akan berbagi tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin. Lebih hebat lagi, dengan latar belakang mereka adalah dari bidang STEM.
“Biasanya perempuan dari sains, teknik tidak suka jadi pemimpin, tapi ada perempuan yang menjadi pemimpin di perguruan tinggi,” katanya.
“Karena mendapat dana penelitian dari British Council maka kami diminta membuat produk Matching Fund agar manfaatnya tidak hanya sekadar penelitian tapi bisa dibagikan ke masyarakat. Semoga hal ini bisa membuka wawasan para peserta,” lanjutnya.
Komunitas Perempuan Peneliti
Antuni berharap diskusi tersebut dapat membuka wawasan para peserta yang merupakan para dosen dan mahasiswa dari UNY, UKDW, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah (UM) Metro Lampung, Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjaya) Yogyakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yogyakarta, dan lainnya
"Kita bisa saling berkomunikasi untuk menjadi peneliti dan pemimpin di masa depan," paparnya.
Ke depan dan sebagai tindak lanjut, kata Antuni, mereka akan membentuk komunitas nasional sehingga bisa berkomunikasi dengan komunitas internasional yang sudah terbentuk. Sedangkan pada Februari 2025, akan diselenggarakan seminar bersama yang akan dihadiri berbagai peneliti Inggris.
“Mereka nantinya akan berbagai pengalaman bagaimana komunitas peneliti STEM di sana memberi dukungan dan memperdayakan perempuan peneliti,” jelasnya.
Dalam paparannya, Rosa Delima menyampaikan tentang bagaimana lika-liku seorang perempuan yang sibuk mengajar, meneliti di bidang STEM, menjabat, sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Ia berhasil melaluinya dengan jegigihan dan kesabaran serta dukungan dari keluarga.
“Terdapat beberapa komunitas dan sudah ada beberapa program yang mendukung pengembangan dan pemberdayaan perempuan. Namun komunitas atau program ini belum secara spesifik mendukung peningkatan peran perempuan dalam bidang STEM," katanya.
Berbagai dukungan dari komunitas tersebut antara lain berasal dari Program Srikandi Teknologi, Program Puan Mengajar, Women in STEM Program in Indonesia, dan lain-lain.
Rosa menambahkan Indonesia masih membutuhkan program untuk STEM ini, di antaranya berupa program peningkatan kapasitas (pengetahuan dan keterampilan), program yang mendorong perempuan dalam bidang STEM antara lain pendanaan, lingkungan kerja. Selain itu, juga program mentoring dan jaringan dukungan, kebijakan kesetaraan gender, memperluas kesempatan berkarya bagi perempuan.
Pada bagian lain, Nurfina Aznam menceritakan bagaimana sejak muda ia sudah ingin meneliti tentang jamu. Apalagi setelah melihat suatu kejadian yang membuat dirinya ingin menolong orang lain.
“Saya juga merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan bahan praktikum. Saat itu, untuk mendapatkan bahan praktikkum harus menunggu dalam waktu yang relatif lama. Tapi semua bisa saya lalui dengan baik dengan kesabaran dan inovasi”, katanya.