Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA – Berbagai universitas di Indonesia terus didorong untuk memperbanyak riset terkait hasil hutan. Kondisi ini guna meningkatkan nilai ekonomi produk-produk yang bersumber dari hutan, sekaligus mendukung program reforma agraria yang berkelanjutan.
Harapan ini disampaikan Staf Ahli Menteri Bidang Antar Lembaga Pusat dan Daerah Kementerian Kehutanan, Fahrizal Fitri, usai pembukaan Wood and Biofiber International Conference (WOBIC) 2025, Selasa (7/9/2025).
Menurut Fahrizal, riset-riset dari kampus dapat menciptakan produk baru dari hasil hutan yang selama ini belum dioptimalkan, seperti bambu. Riset bisa menghasilkan inovasi yang mengubah bambu menjadi produk kerajinan atau infrastruktur bernilai ekonomi tinggi.
"Selama ini, bambu mungkin hanya dianggap sebagai bahan mentah. Dengan adanya riset, bambu bisa diolah menjadi produk yang memiliki nilai lebih tinggi," katanya.
Fahrizal menambahkan, pengembangan riset ini akan memberikan manfaat ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan mendorong munculnya usaha baru. Pada akhirnya, hal tersebut akan mendorong peningkatan pendapatan bruto dari sektor kehutanan.
Meski diakui belum banyak perguruan tinggi yang tertarik pada riset kehutanan, Fahrizal menegaskan, pemerintah terus mendorong dan menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi. Perguruan tinggi akan melakukan riset yang bisa memberikan kemajuan teknologi dan produk yang dibutuhkan pasar.
Di sisi lain, Fahrizal menerangkan, bahwa industri pulp dan kertas nasional juga menunjukkan perkembangan signifikan. Fahrizal menyampaikan rasa bangganya terhadap industri ini yang telah menguasai teknologi pengolahan modern dan berorientasi pada prinsip ekonomi sirkular.
Perhutanan Sosial
Upaya peningkatan efisiensi produksi dan pengurangan emisi karbon telah membuat sejumlah perusahaan nasional diakui secara global. Hal ini sejalan dengan capaian kinerja sektor kehutanan yang terus positif.
Hingga September 2025, produksi kayu bulat mencapai 40,7 juta m³, kayu olahan 32,1 juta m³, dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sekitar 489 ribu ton. PNBP tercatat sebesar Rp 788 miliar, dengan nilai ekspor produk industri hasil hutan mencapai USD 9,5 miliar. Negara tujuan utama ekspor meliputi Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Korea, serta sejumlah negara Asia Tenggara.
Selain riset, pemerintah juga mendorong program perhutanan sosial. Fahrizal Fitri menyebutkan ada 8,3 juta hektare yang diserahkan pemerintah untuk program perhutanan sosial. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan pengelolaan hutan yang lebih terstruktur.
Sedangkan Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Yogyakarta telah banyak mengekspos biofiber yang berasal dari bambu. Jajang Agus Sonjaya, Penanggung Jawab Booth INSTIPER, menjelaskan riset mereka mencakup seluruh proses, mulai dari budidaya, pengawetan, hingga pengolahan bambu menjadi berbagai produk.
"INSTIPER ingin mengekspos bambu yang selama ini kurang bernilai, jika diolah akan meningkat nilai ekonominya. Selain nilai ekonomi, bambu juga berperan penting dalam ekosistem, terutama sebagai vegetasi riparian di sepanjang sungai," katanya.
INSTIPER juga memanfaatkan bambu untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, seperti di Desa Bulaksalak. Bambu dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi tanah bekas galian C dan ini menunjukkan manfaat bambu untuk restorasi lingkungan.