logo

Gagasan

Resolusi Konflik Negara-Masyarakat melalui Rekognisi Ritual Budaya

09 November, 2021 14:42 WIB
Kepala Riset Eduwara.com
Resolusi Konflik Negara-Masyarakat melalui Rekognisi Ritual Budaya
Dr. Algooth Putranto (Eduwara/IST)

Bagi warga Wonosobo dan Pekalongan, setiap bulan Syawal atau bulan ke-10 tahun Hijriah dalam penanggalan Jawa adalah hal yang istimewa. Hari pertama bulan Syawal adalah Idul Fitri atau Lebaran, hari kemenangan bagi umat Muslim setelah sebulan berpuasa. 

Sedangkan hari ke-8 Syawal--biasa disebut sebagai Syawalan—penting bagi masyarakat Islam tradisional.  Dalam tradisi Syawal tersebut, masyarakat di kedua wilayah itu menjalankan ritual menerbangkan balon udara tradisional secara bergotong royong mulai dari modal, membuat hingga menerbangkan balon.

Ukuran balon yang diterbangkan masyarakat beragam. Paling kecil ketika terisi penuh lebih besar dari rumah tipe-21.  Semakin besar ukuran balon, makin besar pula kebanggaan kelompok warga yang menerbangkannya. 

Sebagian masyarakat yang tak berpatokan pada ukuran, fokus pada keindahan corak maupun pola warna balon yang diterbangkan. Sebagian masyarakat yang tidak cukup puas hanya menerbangkan balon menambah petasan pada balon diterbangkan. 

Sebagian lagi menginginkan balon berukuran gigantik terbang makin tinggi dengan kompor yang bisa terus menjaga pasokan udara panas ke balon. Tidak jarang digunakan kompor tambahan yang membuat balon mencapai ketinggian hingga lebih dari 30 ribu kaki. Ketinggian dimana pesawat komersial melintas.

Penerbangan balon udara Syawal sebagai sebuah ritual tidak serumit ritual di wilayah lain yang dilengkapi dengan berbagai bahasa simbolik yang khas seperti tarian, baju hingga doa-doa. Sederhananya, bagi masyarakat, penerbangan balon adalah puncak dari masa berpuasa. 

Tanpa menerbangkan balon udara maka Ramadan tidaklah lengkap. 

Seiring ramainya jalur penerbangan, pemerintah menilai tradisi ini sangat berbahaya. Pertama, balon udara tradisional yang dilepaskan terbang mengikuti arah angin yang tak menentu sehingga bisa mendarat di mana saja. 

Kedua, ketinggian 30 hingga 35 ribu kaki adalah ketinggian jelajah rata-rata pesawat jet komersial bahkan lebih tinggi dari ketinggian penerbangan operasional pesawat penumpang regional jarak pendek bermesin twin-turboprop.

Pelarangan penerbangan balon secara terbang bebas pun menimbulkan konflik. Masyarakat terkejut karena ada masa ketika pemerintah justru pendukung dilaksanakannya tradisi ini, lalu tiba-tiba melarang, menyita bahkan menahan pelaku. 

Upaya rekognisi melalui sejumlah dialog menghasilkan payung hukum penerbangan balon udara tradisional dan penyelenggaraan festival balon udara ditambatkan. Namun persoalan tak selesai karena ada bagian dari tradisi yang seolah tercerabut. Akibatnya upaya mencuri-curi menerbangkan balon tradisional pun masih terjadi. 

Untuk melihat persoalan ini, digunakan paradigma interpretif dengan pendekatan studi kasus. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling dan pengumpulan data karena dilakukan di masa pandemi Covid dilakukan dengan wawancara per telepon, via aplikasi bertukar pesan (chat), tertulis, dan metode Focus Group Discussion menggunakan aplikasi zoom meeting

Peneliti mendapati tantangan dalam hal memahami tradisi balon udara tradisional karena selama ini mekanisme penyelenggaraan penerbangan balon ditentukan oleh masyarakat dengan mekanisme mandiri (self identification).

Akibatnya konflik pun terjadi ketika mekanisme alami yang berlangsung di masyarakat berbenturan dengan ketetapan peraturan beserta sanksi yang diputuskan oleh pemerintah pusat melalui UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Perebutan Ruang Publik

Menggunakan teori Habermas didapati perebutan ruang publik (public sphere) yang bersifat aspasial dan egaliter dengan ruang publik secara fisik (public space). Bagi masyarakat balon udara adalah medium masyarakat berkumpul dan berkomunikasi. Bahkan dalam perspektif komunikasi non verbal, balon udara adalah wujud kode komunikasi berorientasi ruang (proxemics). 

Tradisi ini berbenturan dengan ruang udara sebagai ruang publik (publik space) yang dikuasai oleh Negara secara penuh dan utuh, dengan peruntukan dan penggunaannya oleh Pemerintah. Sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara.

Menggunakan teori Rekognisi milik Axel Honneth upaya dialog yang dilakukan pihak AirNav sebagai bagian mengakui tradisi menghasilkan kesepakatan penerbangan balon yang ditambatkan. Tradisi dijalankan namun dengan batasan yang disepakati sesuai aturan yang berlaku sehingga aman bagi penerbangan.

Sebagai sebuah kegiatan tradisi--karena telah berjalan bertahun-tahun, balon udara Syawal merupakan ritus yang telah menyatukan, membangun kebersamaan, dan menjadi unsur penting pemeliharaan struktur masyarakat di wilayah tersebut. 

Sebagai ritual, balon udara yang sekilas terlihat sekadar sarana hiburan ternyata berkaitan dengan ritus pertunjukan secara sukarela yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun (berdasarkan kebiasaan) menyangkut perilaku yang terpola. 

Bahkan balon udara tradisional memenuhi syarat sebagai kegiatan komunikasi ritual karena merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perayaan (celebratory), menikmati (consummatory), dan bersifat menghiasi (decorative). 

Adanya rekognisi terhadap balon udara tradisional menjadi wujud politik rekognisi dua arah sebagai prasyarat atas masyarakat yang rasional, dalam hal ini peneliti melihat gagasan rekognisi Honneth sudah diletakkan secara menyeluruh untuk mengupas persoalan konflik antara negara dan masyarakat akibat tradisi penerbangan balon udara tradisional Syawal. 

Meski demikian, rekognisi yang dilakukan negara seharusnya melakukan upaya untuk menempatkan balon udara sebagai struktur yang berkembang di masyarakat secara keseluruhan. 

Hal ini sangat memungkinkan berkat adanya payung hukum UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.  

Penulis merupakan Kepala Riset Eduwara.com

Artikel ini merupakan ringkasan dari disertasi pada Program Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta

Editor: Adnyana

Read Next