logo

Sekolah Kita

Satuan Pendidikan Punya Andil dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Peserta Didik

Satuan Pendidikan Punya Andil dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Peserta Didik
Analis Pemberdayaan Perempuan dan Anak KemenPPPA, Prima Dea Pangestu dalam Webinar Sekolah Bebas dari Kekerasan #1: Mengenal Bentuk Kekerasan di Sekolah dan Penanganannya, Jumat (27/5/2022). (YouTube Ditpsdtv)
Redaksi, Sekolah Kita28 Mei, 2022 20:40 WIB

Eduwara.com, JAKARTA – Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHR) Tahun 2021 menunjukkan tiga dari sepuluh anak laki-laki dan empat dari sepuluh anak perempuan usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.

Jika dibandingkan dengan hasil survei tahun 2018, angka kekerasan terhadap anak pada tahun 2021 mengalami penurunan. Namun, hal tersebut tidak sepatutnya menyebabkan hilangnya kekhawatiran terhadap kekerasan anak. Terlebih pandemi Covid-19 juga menyebabkan dampak pada anak. Pada faktanya hal itu dibuktikan dengan jenis kekerasan yang sering dialami, yaitu kekerasan psikis atau emosional.

Demikian catatan penting yang disampaikan Analis Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Prima Dea Pangestu dalam Webinar Sekolah Bebas dari Kekerasan #1: Mengenal Bentuk Kekerasan di Sekolah dan Penanganannya, Jumat (27/5/2022). Webinar itu diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar melalui siaran langsung YouTube Ditpsdtv.

Di satuan pendidikan, sambung Dea, berdasarkan Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2021 mencatat ada 594 kasus pelaporan kekerasan pada anak.

“Kasus pelaporan tersebut terjadi disekolah dengan jumlah korban sebanyak 717 anak. Dengan rincian 334 anak laki-laki dan 383 anak perempuan. Kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan ini memang lebih banyak dialami anak perempuan, dan setiap kasus bisa dialami lebih dari satu korban,” ujar dia.

Perlu diketahui, kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan yang banyak terjadi di satuan pendidikan yakni sekitar 36,39 persen. Pelaku kekerasan paling banyak dilakukan oleh guru, teman atau pacar. Namun tidak menutup kemungkinan pelaku berasal dari lingkungan, masyarakat, dan teman sebaya di luar sekolah.

Dea menambahkan, secara garis besar, ciri fisik dan perilaku korban tindak kekerasan bisa terlihat. Misalnya untuk ciri fisik korban kekerasan fisik biasanya terdapat luka yang tidak dapat dijelaskan, seringkali di bagian lengan sebelah luar, ada luka gigitan manusia, hingga tulang retak. Ciri perilakunya yakni takut tanpa penjelasan, menunjukkan perilaku agresif dan sulit dikendalikan.

“Untuk korban kekerasan psikis, ciri fisiknya adalah mata merah atau kelopak mata hitam karena menangis atau tidak bisa tidur, tatapan mata kosong. Ciri perilakunya merajuk, memainkan rambut, mengayun-ayunkan sebagian atau seluruh tubuh, hingga melukai diri sendiri,” ujar dia.

Pencegahan di Satuan Pendidikan

Satuan pendidikan memiliki otoritas penuh dalam pencegahan kekerasan pada anak di lingkungan sekolah. Menurut Dea, banyak aspek yang bisa dilakukan, namun dia menggaris bawahi ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan di satuan pendidikan.

Pertama, pemahaman pendidik terhadap peserta didik dan perlindungannya. Maksudnya, pemahaman mengenai setiap peserta didik memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi.

“Jadi peserta didik bukan hanya objek penerima semata. Mereka perlu dihargai dan didengarkan pandangannya. Kemudian peserta didik perlu dilindungi, karena mereka merupakan kelompok rentan yang masih dalam masa tumbuh kembang dan bergantung pada orang dewasa. Maka, pendidik perlu menahan ego serta memahami kebutuhan mereka sesuai perkembangan usianya,” jelas dia.

Lebih lanjut, setiap tindakan pendidikan bertujuan membangun kemampuan dan kapasistas peserta didik. Selain itu, pelibatan peserta didik dalam membuat keputusan terkait kebutuhan pembelajaran juga harus diperhatikan, tanpa merendahkan martabatnya.

Kedua, penerapan disiplin positif. Dengan berpikir positif bahwa peserta didik dapat berubah dengan pemberian kehangatan dan bimbingan yang berulang. Kemudian berikan kehangatan dengan cara memperlakukan peserta didik seperti layaknya seorang manusia, memotivasi saat mengalami kesulitan, dan mendengarkan pendapat dan mempertimbangkannya dengan serius.

Ketiga, satuan pendidikan harus memiliki kebijakan keselamatan peserta didik. Hal tersebut menyangkut dokumen kebijakan yang menyangkut prosedur, kebijakan, dan panduan untuk memastikan bahwa satuan pendidikan tersebut aman dan membawa keselamatan bagi peserta didik.

“Contoh penerapannya yaitu adanya kode perilaku dan lembar komitmen keselamatan peserta didk yang akan ditandatangani guru, staf, atau mitra dari satuan pendidikan,” kata dia.

Keempat, adanya tim pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan. Tim tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015. Terkait hal itu, peserta didik secara aktif sebagai anggota tim, memiliki layanan pengaduan dan Standar Operasional Prosedur (SOP), meningkatkan kepasitas pendidik terkait perkembangan dan hak-hak anak.

Selain itu, melakukan sosialisasi terkait SOP Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di satuan pendidikan. Kemudian menjalin kerja sama dengan lembaga psikologi, PK Bapas, atau lembaga lain yang relevan dalam berjejaring dalam perlindungan anak atau ketika merujuk pada kasus tertentu yang terjadi di satuan pendidikan.

“Dengan sinergi dari semua pihak menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia maju. Mari kita bersama-sama membangun sistem yang ramah bagi anak,” pungkas dia. (K. Setia Widodo) 

Read Next