logo

Kampus

UGM Bakal Intensifkan Penelitian di Gunung Semeru

UGM Bakal Intensifkan Penelitian di Gunung Semeru
Dalam jumpa pers Senin (6/12/2021), UGM berjanji bakal melakukan penelitian intensif di Gunung Semeru seperti yang dilakukan pada Gunung Merapi. Penelitian ini akan dibarengi dengan pendidikan mitigasi dan adaptasi masyarakat ((EDUWARA/Setyono))
Setyono, Kampus06 Desember, 2021 20:37 WIB

Eduwara, JOGJA — Prihatin dengan munculnya korban saat erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021) siang, Universitas Gadjah Mada (UGM) berjanji bakal melakukan penelitian intensif, seperti yang dilakukan di Gunung Merapi. Penelitian ini akan dibarengi dengan pendidikan mitigasi dan adaptasi masyarakat.

Keinginan tersebut disampaikan dosen Fakultas Geografi Danang Sri Hadmoko seusai jumpa pers, Senin (6/12/2021), di Auditorium FMIPA UGM, bersama dengan koleganya dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

"Gunung Merapi kita akui memiliki daya tarik dunia untuk diteliti. Mungkin sering erupsi, dekat dengan UGM sehingga banyak jaringan kita di luar negeri melakukan penelitian bersama. Banyak sekali kajian lengkap penelitian yang kami miliki," katanya.

Melihat letusan Gunung Semeru kemarin, Danang menilai masyarakat di sana belum tanggap dalam adaptasi menghadapi bencana. Bencana erupsi gunung berapi berbeda dengan bencana longsor ataupun banjir. Erupsi gunung berapi adalah bencana yang tidak bisa dicegah. 

Belajar dari pengalaman erupsi besar Gunung Merapi 2010, Danang berinisiatif membentuk tim yang intens melakukan penelitian dan pengumpulan data mengenai Gunung Semeru. Selain penelitian, tim tersebut juga akan melakukan pendidikan mitigasi dan adaptasi ke masyarakat. 

"Karena tidak  bisa dicegah, satu-satunya menghindari bencana letusan adalah manusia harus beradaptasi. Ada dua langkah penting, yaitu mitigasi dan adaptasi," jelas Danang.

Proses mitigasi adalah pengawasan terhadap peluang terjadinya bencana susulan setelah letusan. Salah satunya adalah pengawasan pada sungai-sungai yang berhulu di gunung berapi saat terjadi banjir lahar dan memberitahu ke bagian hilir agar tidak berdampak luas. 

Kedua, pada pelaksanaan adaptasi. Masyarakat di bagian hilir terus memberikan informasi terbarukan kepada masyarakat di hilir. Contohnya adalah tentang cuaca terakhir yang terjadi. Bisa saja di puncak hujan, namun di bawah tidak. 

"Karakter masyarakat gunung berapi yang tanggap mitigasi dan adaptasi ini belum banyak terbentuk di lingkungan 27 gunung berapi di Indonesia. Belajar dari letusan Gunung Merapi 2010, kesadaran ini bisa kita bentuk," kata Danang.

Ke depan saat melakukan penelitian, tim akan bekerjasama dengan masyarakat terutama dalam pemasangan alat. Dengan gotong royong, maka akan terbentuk paradigma bahwa alat yang dipasang bukan untuk kepentingan individu, tetapi kepentingan bersama. 

"Teknologi itu penting tapi yang lebih penting adalah kesiapan masyarakat. Secanggih apapun teknologinya, namun kalau masyarakat tidak siap tidak bergunalah teknologi itu," katanya. 

Sekolah Darurat

Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sejumlah dosen, mahasiswa yang bernaung di bawah Muhammadiyah Disaster Management (MDMC), serta relawan MAPALA dan Tim SAR Muhammadiyah Indonesia telah bertolak ke lokasi terdampak bencana alam Gunung Semeru.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Redaksi Eduwara.com, Ketua Tim Simulasi Bencana MDMC Al Afik mengatakan sejak Minggu (5/12/2021) tim relawan UMY sudah membantu mempersiapkan logistik atas nama MDMC untuk dikirimkan ke daerah lokasi bencana. 

"Hari ini, lima anggota tim Mapala UMY bergabung dengan Tim SAR Muhammadiyah Indonesia membantu evakuasi bencana alam Gunung Semeru," katanya.

Rencananya, lanjut Al Afik, UMY akan membuat skema relawan melalui Sekolah Darurat di daerah yang terdampak bencana alam dalam 10 hari ke depan. Relawan akan bertugas menggantikan para guru yang terdampak di sana.

Read Next